Sebuah Akhir

2.3K 167 45
                                    

Bagaimana jika, setelah semua yang terjadi di antara mereka, Wu Yifan dan Park Chanyeol memang tidak ditakdirkan bersama. Siapa yang bisa melawan takdir, kan? Bahkan matahari tidak bisa menolak untuk tenggelam, atau kucing yang harus terlahir menjadi kucing. Semuanya berjalan sesuai harmoni alam. Tapi bagaimana jika, untuk satu hal ini, Wu Yifan dan Park Chanyeol adalah sebuah pengecualian.

Yang menyenangkan dari pagi adalah mataharinya, juga kesibukan orang-orang mempersiapkan aktivitas mereka pada saat itu. Lampu-lampu jalan yang meredup, derap langkah kaki yang tergesa, dan klakson-klakson mobil yang memekakkan telinga, adalah pemandangan pagi di sebuah kota yang Yifan saksikan itu. Di sela-sela jarinya, sebatang rokok yang tinggal separuh mengepulkan asap putih. Hawa dingin musim gugur tidak menggoyahkan postur tubuh tinggi laki-laki itu.

Yifan mendengar pintu balkon di belakangnya terbuka. Ia kemudian mendengar langkah kaki berjalan pelan mendekatinya. Langkah kaki yang tidak asing baginya. Sepasang lengan melingkari dadanya bersamaan ketika Yifan menghisap asap rokoknya terakhir kali sebelum mematikannya. Dari posisi ini, suara detak jantung pemilik lengan itu seperti menembus punggung Yifan menuju dadanya, menyatukan iramanya menjadi satu.

"What's wrong?" Tanya Chanyeol.

Tinggi tubuh mereka yang hampir sama membuat Chanyeol bisa menenggelamkan wajahnya pada leher Yifan.

Nothing is wrong. Yifan ingin menjawab itu. Tapi keputusan harus ia buat, karena dengannya menjawab kalimat itu akan membuat otak Chanyeol mengartikannya dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

"Sudah lama aku tidak bangun pagi." Adalah jawaban yang Yifan pilih.

Chanyeol mendengus dan Yifan bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu di tengkuknya.

"Seandainya aku tidak hilang ingatan, apa kita akan melakukan hal ini sejak lama?" Tanya Chanyeol lagi.

Seandainya kau tidak hilang ingatan, maka kau sudah mati. Karena itu yang selalu kau inginkan sejak lama. Yifan menggigit bibir bawahnya dan mendengus.

"Jika kau tidak hilang ingatan, kita akan melakukan ini, setiap hari, kapan pun." Yifan membalikkan tubuhnya dan menangkup wajah Chanyeol menggunakan kedua tangan besarnya. Bibir mereka kemudian bertemu.

Tapi Yifan tidak akan pernah membiarkan Chanyeol mati.

.

.

.

Kejadian-kejadian yang terjadi di antara waktu kecelakaan hingga proses penyembuhan masih abu-abu bagi ingatan Chanyeol saat ini. Ia hanya ingat bagaimana ia menabrakkan mobil yang Ayahnya belikan untuk kado ulang tahunnya dan bagaimana ia kemudian menjadi manusia yang baru setelahnya.

Hari ini adalah jadwal terapi Chanyeol dengan psikiaternya. Dokter Kim menyarankan untuk melakukan scan ulang di kepalanya dan memeriksa semuanya dengan hati-hati. Ingatan Chanyeol yang kembali secara tiba-tiba adalah sebuah kabar baik juga kabar buruk.

"Apa yang akan terjadi kalau aku bertemu Ayahku lagi?" Tanya Chanyeol.

Hari ini ia datang sendiri. Yifan yang biasanya akan menemaninya, harus memperpanjang izin tinggalnya di Korea.

Dokter Kim menimbang jawabannya. Ia membolak-balikkan catatan di mejanya sebelum mendesah pelan.

"Akan ada dua kemungkinan. Pertama, kau menghadapi dan memaafkannya -di mana hal ini akan menjadi kemajuan terbesarmu-dan kedua, kau akan mengalami serangan hiperventilasi seperti ketika kau bertemu pasanganmu."

Kedua sudut bibir Chanyeol tanpa sadar tertarik ketika mendengar kata pasangan itu.

"Ayahmu adalah stressor terberatmu. Bahkan tanpa kehadiran fisiknya, kau masih akan merasa ketakutan dan tidak mampu untuk melanjutkan hidupmu secara normal. Kau bisa meminum obat selama sisa hidupmu, tetapi selama Ayahmu masih menjadi pemicu stresmu, kau tidak akan ke mana-mana."

PARADISEWhere stories live. Discover now