Yang Fana adalah Waktu

813 110 7
                                    

Yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa

.

.

Bukankah lebih menyenangkan ketika kita bisa menyalahkan keadaan –dan waktu, atas apa yang terjadi daripada mengakui bahwa semuanya terjadi karena memang seperti itulah harusnya. Bukankah semua terasa lebih baik ketika ada yang bisa disalahkan, daripada harus mengatakan itu karena ya itulah takdir.

Wu Yifan menenggak secangkir kopi yang sudah dingin di mejanya sebelum kembali fokus pada layar komputer di hadapannya. Selain rokok dan alkohol, kafein juga sudah menjadi bagian dari pemuda yang kini berusia 19 tahun itu. Ketiga benda itu seperti sudah tidak bisa terpisahkan darinya dan Yifan seperti tidak bisa hidup tanpanya. Setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai seorang pelayan di sebuah Cafe, kali ini Yifan resmi menjadi seorang penulis penuh waktu. Tidak ada spesifikasi tulisan apa yang ia hasilkan, ia bisa menulis apapun yang orang lain minta asalkan mereka bisa membeli tulisannya dengan layak. Meskipun pemuda itu tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi berkat hobinya yang suka membaca, tidak ada kesulitan baginya untuk menghasilkan sebuah tulisan –baik artikel biasa maupun opini.

Salah satu alasan yang membuat Yifan berhenti –atau diberhentikan dari pekerjaannya sebelum ini bukan karena ketidakmampuannya mengantarkan makanan dari dapur kepada pelanggan yang sudah menunggu dengan perut lapar, tetapi karena pengendalian emosinya yang kurang. Ketika pekerjaan mengharuskannya untuk bersikap ramah pada pelanggan, ia justru bersikap dingin dan lebih banyak bekerja dalam diam. Ia juga tidak tahan ketika manajer atau pelanggan membuatnya melakukan berbagai hal. Itulah sebabnya pemuda itu sedikit bersyukur ketika mereka memutuskan untuk memecatnya. Toh ia juga sudah mempunyai pekerjaan lain yang lebih cocok untuknya.

Dengan menulis, Yifan sudah berhasil mengumpulkan uang dan mengganti macbook usangnya dengan sebuah komputer yang mendukungnya dalam bekerja. Pekerjaan itu juga tidak menuntut Yifan untuk datang ke kantor dan sebagainya, ia bisa menyelesaikannya di rumah –atau kamar sempit yang ia sewa. Semakin sedikit berkontak dengan orang lain, semakin tenang Yifan dibuatnya.

Malam itu Yifan baru saja menyelesaikan deadlinenya ketika ia mendengar sebuah ketukan di pintu. Yifan awalnya berniat untuk mengabaikannya –bisa jadi hanya orang salah kamar atau apa, ini sudah jam 2 pagi dan ia tidak mengharapkan siapa pun menjadi tamunya, namun ketukan di pintu justru semakin keras. Dengan enggan Yifan akhirnya bangkit dan membuka kuncian pada kenopnya.

Xiao Lu atau yang biasa dipanggil Luhan hanya bisa meringis ketika Yifan memandangnya dengan alis bertaut. Pemuda itu harus menyelesaikan kelasnya hingga sore hari sebelum mengambil penerbangan terakhir dari Beijing menuju Nanjing untuk menemui sahabatnya yang keras kepala itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Yifan dengan kantung mata terlihat jelas di wajahnya.

Luhan mengangkat bahunya dan tanpa menunggu dipersilahkan melepas sepatunya dan masuk ke dalam tempat tinggal Yifan.

"Aku ingin menghabiskan akhir pekan di sini." Kata Luhan sambil meletakkan tas ranselnya.

Yifan hanya bisa menghela nafas dan mengunci kembali pintu kamarnya sebelum menyusul Luhan. Sahabatnya yang kini sedang berkuliah di sebuah universitas di Beijing itu memang sering mengunjunginya ketika akhir pekan atau ketika ia mempunyai waktu luang. Yifan tidak meragukan ketulusan pemuda itu, namun melihat usaha yang Luhan lakukan justru membuatnya sering kesal. Ia tidak ingin dikasihani karena dengan sikap Luhan yang seperti ini justru membuatnya merasa menyedihkan. Tetapi Yifan tidak mengutarakan pemikirannya, karena ia benar-benar tidak ingin berdebat dengan pemuda itu.

PARADISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang