Tremble

928 110 2
                                    

Ketika Mrs. Wu masuk ke dalam rumahnya sepulang dari kantor, ia menemukan Yifan sedang memasak ramen di dapur. Ia merasa sedikit bersalah karena hari itu ia sama sekali tidak meninggalkan makanan untuk Yifan karena urusan kantor yang harus ia selesaikan dengan segera.
"Kau seharusnya membeli makanan di luar daripada memasak ramen seperti itu." Ujar Mrs. Wu sambil melepaskan mantel dan syal yang melingkar di lehernya.
Yifan hanya mengangkat bahunya dan membawa semangkuk ramen yang sudah jadi ke kamarnya.
"Kau memakannya di kamar? No food in your room, Yifan." Mrs. Wu memperingatkan yang hanya dianggap lalu oleh pemuda berusia 17 tahun itu.
Yifan menyalakan Macbooknya dan memutar sebuah film tanpa terlalu memperhatikan judulnya. Beberapa kali ia akan mengernyit ketika bibirnya menyentuh kuah ramen yang dimakannya atau ketika sumpit yang digunakannya tanpa sengaja menyentuh luka di bibirnya. Ia sengaja menghindari Ibunya hari itu karena ia pasti akan ditanyai bermacam-macam pertanyaan jika Ibunya menyadari bibirnya yang robek dan lebam di rahang kanannya.
Selama hampir 15 menit film itu menayangkan adegan penculikan seorang gadis di sebuah kota. Yifan tidak terlalu memperhatikan sebenarnya karena pikirannya sibuk memikirkan hal lain. Namun ketika layar laptopnya menayangkan adegan ciuman entah kenapa pipi Yifan terasa memanas. Ia tiba-tiba teringat kejadian siang tadi. Nafsu makan Yifan tiba-tiba menghilang dan membuat pemuda itu meletakkan mangkuk ramennya di atas meja.
Ciuman bersama Chanyeol tadi bukanlah ciuman pertama Yifan. Ia pernah mencium beberapa gadis sebelumnya ketika ia masih tinggal di Kanada. Ia juga pernah mencium seorang teman laki-lakinya karena ia kalah dalam sebuah permainan truth or dare kala itu. Tapi entah kenapa Yifan tidak bisa melupakan sensasi bibir lembut Chanyeol di bibirnya.
"Ugh." Yifan mengerang dan menjambak rambutnya dengan frustrasi. Semakin ia berusaha melupakan kejadian itu, semakin jelas pula bayangan di pikirannya bagaimana Chanyeol menutup matanya dan membalas pagutan bibirnya.
Yifan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur dan menutup kepalanya menggunakan bantal. Ada perasaan aneh yang mengganjal di perutnya. Ia berani taruhan itu bukanlah efek dari ramen yang baru saja dimakannya.
Tiba-tiba ponsel Yifan berbunyi. Ketika Yifan menatap layar ponselnya dan menemukan siapa penelepon malam itu, ia segera menekan tombol hijau dan menempelkan layar ponselnya ke telinga kirinya.
"Apa kau pernah mencium laki-laki sebelumnya?" Tanya Yifan tiba-tiba yang segera saja ia sesali.
Hening. Si penelepon sepertinya tidak menduga ia akan disapa dengan pertanyaan itu ketika ia memutuskan untuk menelepon Yifan.
"W-what?" Luhan mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
Yifan tidak langsung menjawab, ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan mem- pause film yang masih terus berjalan di laptopnya.
"Lupakan." Yifan kemudian membuka jendela kamarnya, membiarkan angin malam masuk ke dalam.
"You kissed a boy ?" Ada tawa dalam pertanyaan Luhan. Ia tidak bisa melepaskan pertanyaan Yifan begitu saja.
"Itu pertanyaanku, kau tidak bisa membalikkannya begitu saja." Gerutu Yifan.
Tawa Luhan pecah. "Oh God. Kau mencium laki-laki. Apa kau sedang jatuh cinta?"
Rupanya bertanya pada Luhan adalah kesalahan besar. Setan kecil itu akan terus menggodanya seumur hidupnya. Yifan merutuki dirinya sendiri yang terkadang tidak bisa menyaring apa yang dikatakannya.
"Shut up ." Yifan berusaha menghentikan Luhan yang seperti tidak bisa berhenti menertawainya.
"Whoa. Ini adalah hal yang baru untuk Wu Yifan. Ku kira kau pacaran dengan siapa, Jessica? Dia terus menanyakanmu di sini. Ku kira dia akan mati berdiri begitu mendengar kabar kalau kau sekarang tertarik dengan laki-laki." Luhan akhirnya menghentikan tawanya, tapi Yifan bersumpah ia masih mendengar pemuda itu sesekali terkikik.
"Aku tidak pacaran dengan Jessica. Dan aku tidak tertarik dengan laki-laki." Kata Yifan membela dirinya sendiri meskipun ia mengatakan kalimat terakhir dengan ragu-ragu.
"Well, siapa laki-laki kurang beruntung ini? Dia pasti begitu bosan hingga mau kau cium." Luhan terus menggodanya.
"I'm not telling you. Bye, Luhan ." Yifan sudah akan menutup teleponnya ketika sahabatnya itu justru kembali tertawa.
"Come on, man. Aku bahkan belum sempat menanyakan kabarmu dan kau sudah akan menutup teleponnya? Tidak bisakah kau sedikit bersyukur karena asal kau tahu setelah ini Ibuku akan mengomel karena aku akan membuat tagihan teleponku membengkak." Omel Luhan.
Yifan hanya bisa menghela nafas. Mereka kemudian melanjutkan perbincangan mengenai keadaan sekolah dan teman-teman Yifan di sana. Hal itu membuat Yifan merindukan Kanada, betapa ia ingin kembali ke sekolahnya dan bertemu dengan teman-temannya. Setidaknya di Kanada, keadaan tidak segila di Korea.
.
.
.
Chanyeol sudah akan berangkat ke sekolah ketika ia menemukan Ayahnya masih duduk di meja makan. Pemuda itu kemudian membungkuk di samping Ayahnya untuk mengucapkan selamat pagi.
"Duduk. Aku akan mengantarmu ke sekolah nanti." Perintah Ayahnya.
Dan dengan berat hati Chanyeol menarik kursi di meja makan dan duduk di samping Ayahnya yang sedang menikmati secangkir kopi.
"Dokter Choi menghubungiku kemarin dan mengatakan kalau kau sudah datang ke kliniknya."
"Ne, Aboeji ." Jawab Chanyeol pelan. Ancaman Dokter Choi memang bukan main-main. Ia sudah mempersiapkan diri jika sang Ayah memarahinya atau bahkan menghukumnya karena tidak menyelesaikan sesi di klinik Dokter Choi dengan baik dan pergi begitu saja.
Mr. Park kemudian diam. Chanyeol masih menundukkan kepala, tidak berani menatap Ayahnya.
"Dokter Choi mengatakan kalau kau sudah mulai membaik, tapi kau tetap harus meminum obat yang dia berikan. Kau sudah meminumnya hari ini?"
"Ne, Aboeji ." Jawab Chanyeol. Mr. Park mengangguk puas.
"Chanyeol..." Mr. Park tiba-tiba menyentuh puncak kepala Chanyeol dengan ragu-ragu hingga membuat Chanyeol akhirnya mendonggakkan kepala untuk menatap Ayahnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Chanyeol melihat tatapan teduh di wajah tegas Ayahnya.
"Tolong camkan dalam dirimu kalau aku melakukan semua ini demi kebaikanmu." Kata Mr. Park. Chanyeol hanya bisa mengangguk. Meskipun ia masih belum mengerti, tetapi ia sedikit berharap dengan sikap Ayahnya itu.
"Kau adalah putraku." Mr. Park mengelus pelan kepala Chanyeol.
"Aku tidak mau kau berakhir seperti Ibumu." Kalimat terakhir Ayahnya itu membuat Chanyeol membeku.
.
.
.
Chanyeol masih ingat betul ketika usianya masih 9 tahun, hari itu adalah hari ulang tahun Ayahnya. Ia memberitahu Bibi Kim untuk mengantarnya membeli kue ulang tahun. Ia ingin memberikan kejutan kecil untuk Mr. Park.
Ketika sampai di sebuah toko kue, seorang pelayan toko memberinya ide untuk menghias kuenya sendiri. Bibi Kim tampak tidak terlalu senang dengan ide itu karena hal itu berarti mereka akan menghabiskan waktu lebih lama di luar rumah. Tetapi begitu melihat tatapan berbinar di kedua mata Chanyeol, maka Bibi Kim akhirnya luluh juga dan menunggui Chanyeol di toko kue itu selama lebih dari 2 jam.
Begitu sampai di rumah, Chanyeol sudah tidak sabar untuk memberikan kue itu pada Ayahnya yang ternyata sudah pulang dari tempat kerjanya. Namun alih-alih memberikan kejutan, Chanyeol justru mendapatkan amarah dari Ayahnya yang tidak suka jika ia menghabiskan waktu di luar rumah bahkan sampai petang hari itu. Bibi Kim berusaha membela Chanyeol, mengarang alasan bahwa mobil yang mengantar mereka sempat mogok dan harus diperbaiki saat itu juga.
Chanyeol kecil yang masih naif hanya bisa memegang erat kotak kue di pangkuannya sementara Mr. Park terus membentaknya. Tidak ada lagu selamat ulang tahun yang sempat Chanyeol nyanyikan untuk Ayahnya. Ia bahkan belum sempat mencicipi kue ulang tahun yang ia hias sendiri dengan krim berwarna-warni ketika Ayahnya membanting kotak kue itu dan menyeretnya ke dalam kamar untuk dikurung sebagai hukuman.
Memori masa kecil itu sulit hilang dari kepala Chanyeol, bahkan beberapa tahun setelahnya. Pemuda itu tersadar dari lamunannya ketika mobil yang ia tumpangi bersama Ayahnya berhenti di depan sekolah. Chanyeol membungkuk pada Ayahnya sebelum keluar dari mobil.
Mungkin keadaan sudah sedikit berbeda sekarang, di mana Ayahnya sudah tidak membatasi di mana atau dengan siapa ia harus menghabiskan waktunya. Selama Chanyeol masih pulang sebelum tengah malam dan tidak membuat masalah yang diketahuinya, Mr. Park akan memilih diam. Entah karena ia memang tidak ingin mengekang Chanyeol, atau karena ia sudah tidak peduli lagi. Chanyeol sulit membedakannya.
.
.
.
Ujian kenaikan kelas sudah semakin dekat. Para murid sudah sibuk mempersiapkannya. Mereka kini lebih fokus pada pelajaran dan les-les yang akan mereka datangi sepulang sekolah daripada mengganggu Yifan maupun Chanyeol. Namun hal itu tidak berarti mereka berhenti sepenuhnya, sesekali mereka akan masih menjahili dua orang pemuda itu, tetapi tidak sesering sebelumnya. Saat ini mereka lebih memilih dengan mengacuhkan Yifan dan Chanyeol atau menganggap mereka tidak ada.
Yifan melirik ke arah Chanyeol yang tiba-tiba duduk di sampingnya di atap sekolah pada jam istirahat. Pemuda itu menyodorinya sebatang rokok yang sudah menyala. Yifan merasa enggan sebelumnya, tetapi hal itu sudah cukup lama ketika Yifan terakhir kali menghisap asap tembakau itu.
"Bagaimana bisa kau mendapatkan benda-benda ini?" Yifan kembali bertanya.
Chanyeol mengangkat kedua alisnya bersamaan sambil menatap Yifan dengan seringaian di wajahnya.
"Aku punya caraku sendiri dan aku tidak akan memberitahukannya padamu." Chanyeol mengambil batang rokok itu dari tangan Yifan setelah pemuda itu selesai menghisapnya sekali.
Yifan mendengus mendengar jawaban Chanyeol. Mereka berdua saling bergantian menghisap sebatang rokok itu dalam diam. Angin berhembus cukup kencang hingga membuat abu rokok yang terbakar berterbangan di sekitar mereka.
"Whoa." Chanyeol tanpa sengaja menjatuhkan abu rokok yang masih menganga di atas lengannya, membuat ia sedikit terlonjak dari tempat duduknya. Yifan tertawa melihatnya.
"Apa kau sebahagia itu melihat aku menderita?" Chanyeol menggosok lengannya yang tertimpa abu panas tadi.
Tiba-tiba pandangan Yifan jatuh pada bibir Chanyeol yang sedikit basah. Masih menjadi misteri baginya bagaimana Chanyeol bisa menghabiskan beberapa batang rokok dalam sehari namun bibirnya tetap berwarna pink. Tanpa sadar Yifan menelan ludahnya.
Ia masih mengingat dengan jelas sensasi bibir Chanyeol. Ia seperti ingin merutuki dirinya sendiri yang masih saja mengingatnya ketika mereka berdua sudah memutuskan untuk tidak mengatakan apapun mengenai kejadian itu.
"Yah! Kau tidak sedang memikirkan hal yang mesum kan?" Kata Chanyeol sambil mendorong pelan bahu Yifan yang wajahnya tiba-tiba memerah. Pemuda itu menggeleng cepat.
"Ah. Aku jadi ingat, aku menemukan ini di youtube. Menggelikan sekali." Chanyeol tiba-tiba meraih ponsel dari saku celananya dan menekan beberapa touch pad sebelum ponsel Yifan berbunyi.
Yifan membelalakkan matanya ketika melihat sebuah video yang dikirim Chanyeol ke ponselnya. Video itu menayangkan sebuah adegan ciuman antara dua orang laki-laki di atas tempat tidur. Dua orang laki-laki itu tampak saling melumat bibir satu sama lain dengan tangan yang saling meraba. Wajah Yifan memanas menontonnya sementara Chanyeol tertawa di sampingnya seolah mereka sedang melihat video dua ekor kelinci lucu.
"What the fuck ." Yifan segera menghapus video itu.
"Waeee?" Chanyeol memprotes karena ia juga ikut menonton video itu di ponsel Yifan dan tiba-tiba video itu berhenti.
"Kenapa kau mengirimi aku video seperti itu?" Yifan tidak habis pikir. Apa menurut Chanyeol dengan ia pernah menciumnya bukan berarti Yifan tiba-tiba tertarik dengan hal-hal seperti itu.
"Memangnya kenapa dengan video itu? Kau bahkan tidak menontonnya sampai selesai. Aku mau menunjukkan adegan setelahnya dan kau tiba-tiba sudah menghapusnya." Chanyeol mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuat Yifan semakin frustrasi karena disodori oleh pemandangan yang selama ini ia hindari.
Yifan memalingkan wajahnya dari wajah Chanyeol, tidak ingin melihat bibir Chanyeol dalam keadaan seperti itu. Sementara Chanyeol masih belum juga sadar dengan ketidaknyamanan yang ditunjukkan Yifan.
"Apa kau malu melihat hal seperti itu denganku?" Tanya Chanyeol tiba-tiba, ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Yifan untuk menatap wajah pemuda yang lebih tua darinya itu.
"T-tidak. Kenapa aku harus malu?" Sanggah Yifan dengan tergagap.
"Lalu kenapa kau tadi bersikap seperti itu? Aish ." Chanyeol kembali protes, kecewa karena ia gagal menunjukkan sebuah adegan lucu pada Yifan.
"Sudah lupakan." Yifan menyimpan kembali ponselnya di sakunya.
Bel tanda jam istirahat berakhir sudah berbunyi. Yifan segera bangkit sementara Chanyeol masih duduk di lantai.
"Tidak bisakah kita membolos saja?" Ujar Chanyeol yang enggan masuk kelas lagi.
Yifan menghela nafas sebelum menarik lengan Chanyeol agar ikut berdiri.
"Kita tidak perlu menambah masalah lain lagi."
Mereka kemudian berjalan kembali ke kelas.
"Bagaimana kalau akhir pekan ini kita pergi ke tempat yang pernah aku tunjukkan padamu sebelumnya?" Ajak Chanyeol dengan antusias.
"Ibuku tidak akan mengizinkanku pergi sebelum ujian berakhir." Jawab Yifan. Ia yakin Ibunya tidak akan mempermasalahkan hal itu, tapi ini hanyalah alasan yang ia buat untuk menolak ajakan Chanyeol.
"Setelah ujian kalau begitu?" Chanyeol bukanlah orang yang mudah menyerah dan Yifan membencinya karena itu.
Yifan kemudian hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.
.
.
.
Wu Yifan mengernyitkan dahinya keheranan ketika sepulang sekolah ia sudah melihat sepatu Ibunya sudah tertata rapi di rak. Tidak seperti biasanya pada jam-jam seperti ini Ibunya sudah pulang kerja. Namun yang membuat pemuda itu lebih heran adalah sepasang sepatu lain yang tergeletak di sana.
Pemuda itu kemudian masuk ke dalam ruang tamu dan mendapati seorang laki-laki duduk di sofa. Laki-laki itu tersenyum melihat Yifan, namun ia tidak membalasnya.
Ketika Yifan akan pergi ke kamarnya, ia menemukan Ibunya tengah masak di dapur.
"Kau sudah pulang?" Sapa Mrs. Wu tanpa mengalihkan perhatiannya dari telur dadar di hadapannya.
"Hn." Gumam Yifan sebagai jawaban.
"Ah, kau pasti sudah bertemu dengan Paman Jung Hoon. Kau harus berkenalan dengannya." Mrs. Wu kemudian menghentikan kegiatan memasaknya dan menghampiri Yifan sebelum menarik tangan putra semata wayangnya itu kembali ke ruang tamu.
"Ma.." Yifan berusaha menghentikkan Ibunya.
"Jung Hoon-sshi perkenalkan ini Wu Yifan, putraku. Yifan, perkenalkan ini teman Ibu sekantor, Choi Jung Hoon."
Laki-laki yang bernama Jung Hoon itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Yifan yang hanya ditanggapi dengan dingin oleh Yifan.
Mrs. Wu menyenggol lengannya agar membalas jabatan tangan Jung Hoon.
"Kau sangat tinggi." Komentar Choi Jung Hoon sambil membuat gestur dengan tangannya.
Mrs. Wu tertawa melihatnya sementara Yifan tetap menunjukkan wajah datarnya.
"Aku akan ke kamar." Yifan bergumam pelan sebelum undur diri dari hadapan dua orang itu. Mrs. Wu menahan nafasnya ketika Yifan membanting pintu kamarnya.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi dan Yifan masih belum bisa memejamkan matanya. Mungkin ini juga merupakan efek lapar yang melanda perutnya karena ia sengaja melewatkan makan malam meskipun Ibunya menggedor pintu kamarnya. Yifan kemudian meraih ponsel yang ia letakkan di meja nakasnya. Tanpa berpikir lagi ia mencari sebuah kontak dan menekan tombol hijau di ponselnya.
"Yeoboseyo ?"
Yifan sudah menduga Chanyeol sudah tertidur pada waktu itu.
"Mengenai tawaranmu tadi siang, apa masih berlaku?" Tanya Yifan sambil meletakkan sebelah tangannya di bawah kepalanya.
Hening. Chanyeol pasti sedang mengingat-ingat apa yang ia tawarkan tadi siang.
"Um, maksudmu kita pergi ke club?" Suara Chanyeol masih terdengar mengantuk dan tidak fokus.
"Hn." Gumam Yifan.
"Kalau kau mau kita bisa pergi ke sana akhir pekan ini." Kata Chanyeol dengan suara yang lebih jelas.
"Oke. Kita pergi akhir pekan ini." Yifan memastikan. Ia bisa mendengar Chanyeol mendengus di seberang.
"Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba mengubah pikiranmu? Kau baik-baik saja?"
"Ya. Aku baik-baik saja. Hm, aku harus menutup teleponnya." Dan tanpa menunggu jawaban dari Chanyeol, Yifan menutup teleponnya dan meletakkan ponselnya itu kembali ke atas meja.
Ia masih belum juga memejamkan matanya ketika jarum jam terus berdetak.

PARADISEWhere stories live. Discover now