Let Me Love You

865 117 4
                                    

Keinginan untuk mengakhiri hidupnya begitu kuat pada diri Chanyeol. Ia pikir tidak ada alasan lain baginya untuk bertahan. Ia yakin ia akan mati pada saat itu. Ia sudah menelan cukup banyak air dan tubuhnya mulai melemas. Namun entah kekuatan dari mana, Chanyeol tiba-tiba membuka matanya dan bangkit dari bath up. Nafasnya memburu dan ia beberapa kali terbatuk. Mata dan hidungnya sudah memerah ketika ia memuntahkan air dingin yang sempat ditelannya tadi. Ia belum bisa mati hari ini.
Tubuhnya yang masih terbalut dengan piyama tidur akhirnya beranjak dan keluar dari kamar mandi dengan basah kuyup. Ia tak lantas mengganti pakaiannya dengan yang kering, ia justru menggagapi meja di kamarnya di mana ia biasa menyimpan persedian obat-obatannya. Namun benda yang dicari-carinya tidak ada. Sang Ayah pasti sudah menyuruh Bibi Kim untuk menyingkirkan seluruh obat-obatan yang ada di kamarnya. Chanyeol akhirnya jatuh terduduk di kamar tidurnya yang gelap. Cahaya lampu dari luar menembus jendela kamarnya yang tidak ia tutup.
.
.
"Ku dengar kau menolak Ana." Kata Luhan ketika perjalanannya dengan Yifan berlanjut ke sebuah bar. Tanpa Ana dan Jennifer kali itu. Waktu menunjukkan pukul 02.00 pagi tapi mereka benar-benar akan menghabiskan malam itu di luar.
Yifan mendengus karena gadis itu mengadukan perbuatannya pada Luhan.
"Apa kau benar-benar sudah berubah menjadi gay?" Tanya Luhan. Ia berharap Yifan menganggapnya bercanda, tapi pemuda itu justru terdiam dan tidak langsung menyangkal seperti biasanya.
"Aku tidak tahu." Jawab Yifan. Karena ia sendiri tidak yakin dengan seksualitasnya sendiri. Ia merasa bahwa ia tidak menyukai laki-laki begitu saja. Tapi dengan Chanyeol, Yifan menepis pikirannya sekali lagi.
"Look, my friend . Menjadi gay atau tidak, kau bisa menyukai siapapun yang kau mau." Ujar Luhan menyodorkan segelas tequilla ke hadapan Yifan yang segera ditenggak pemuda itu.
.
.
Setelah mengurung diri seharian di dalam kamarnya, Chanyeol akhirnya keluar dan segera disambut oleh Kukkie yang menggonggong sambil mengelilingi kakinya. Pemuda itu berjongkok dan menggaruk puncak kepala anjing itu. Kukkie menjilati telapak tangannya dengan antusias.
"Di mana Aboeji ?" Tanya Chanyeol ketika Bibi Kim lewat di hadapannya.
"Tuan Park belum pulang dari kantor." Jawab Bibi Kim singkat sebelum melangkah kembali ke dapur.
Pemuda itu kemudian bangkit dan kembali ke kamarnya. Setelah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana jeans, ia kemudian meraih kunci mobilnya.
"Tuan Park bilang kalau Tuan Chanyeol tidak boleh meninggalkan rumah." Cegah Bibi Kim ketika Chanyeol sudah sampai di pintu utama rumah itu.
"Bilang padanya aku hanya pergi sebentar." Kata Chanyeol sebelum berjalan menuju garasi. Kukkie tampak mengikutinya dari belakang.
Chanyeol sudah memutuskan bahwa tinggal di dalam rumah justru membuatnya semakin gila. Pemuda itu membawa mobilnya keluar dan melaju. Setelah berputar selama 15 menit, pemuda itu akhirnya memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung apartemen yang tidak asing lagi baginya. Pemuda itu kemudian memencet bel untuk memberitahukan kehadirannya.
"Chanyeol?" Mrs. Wu membukakan pintu untuknya.
Chanyeol tersenyum dan membungkuk sopan.
"Annyeong haseyo. "
"Ah apa Yifan tidak memberitahumu?" Chanyeol mengerutkan keningnya. Sudah hampir seminggu lebih ia kehilangan kontak dengan Yifan.
"Hp ku rusak beberapa hari ini, jadi mungkin Yifan tidak bisa menghubungiku." Jelas Chanyeol.
"Yifan sedang liburan ke Beijing dengan temannya di Kanada dulu. Kau mau masuk?"
Hati Chanyeol mencelos. Datang ke tempat ini adalah sebuah kesalahan. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya kecewa karena Yifan tidak memberitahunya.
"Ah, tidak terima kasih, Mrs. Wu. Aku pulang saja kalau begitu." Chanyeol membungkuk sekali lagi sebelum berlalu dari apartemen itu.
"Chanyeol..." Mrs. Wu memanggilnya sekali lagi membuat Chanyeol menoleh.
"Apa kau baik-baik saja? kau terlihat lebih kurus." Kata Mrs. Wu.
Chanyeol tersenyum. "Aku baik-baik saja, Mrs. Wu."
Pemuda berambut hitam itu kemudian masuk ke dalam lift untuk membawanya kembali ke tempat parkir. Ia adalah orang yang menghindari Yifan, jadi sudah sewajarnya Yifan tidak menghubunginya sama sekali. Chanyeol berusaha menghibur dirinya sendiri ketika ia masuk ke dalam dan mengendarainya tanpa tujuan.
Pada akhirnya pemuda itu berhenti di depan sebuah mini Market dan membeli ramen instan dan es krim. Ketika menunggu ramennya matang di dalam microwave mini Market itu, mata Chanyeol tanpa sadar tertuju pada seorang laki-laki yang sedang mengantri di depan kasir. Mata Chanyeol yang sudah besar membulat ketika menyadari siapa laki-laki itu. Sambil terburu-buru berusaha untuk bersembunyi di antara rak-rak display, Chanyeol dalam hati berharap laki-laki itu segera pergi. Namun takdir seperti ingin mempermaikannya karena laki-laki itu justru berjalan menuju ke arah microwave dan tepat saat itu ramen Chanyeol matang.
"Ramenmu sudah matang." Ujar laki-laki pada Chanyeol yang hanya menundukkan kepalanya. Laki-laki itu sedang sibuk membuka cup ramennya sendiri. Pemuda itu akhirnya memberanikan diri untuk mengambil ramen miliknya di dalam microwave dan berusaha agar tidak menampakkan wajahnya pada laki-laki itu.
"Chanyeol?"
Pemuda itu mengumpat dalam hati karena dengan tinggi badannya saja ia sudah cukup mudah dikenali. Chanyeol mendongakkan kepalanya dan berusaha tersenyum tapi mulutnya justru terbuka dan menutup seperti ikan.
"Apa kau baru saja pura-pura tidak mengenaliku?" Tanya laki-laki itu sambil memasukkan ramennya ke dalam microwave.
"Tidak. Aku benar-benar tidak sadar kalau itu Hyung." Kata Chanyeol sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Setelah bertukar kabar dengan singkat, mereka akhirnya duduk berhadapan di kursi yang disediakan di minimarket itu. Chanyeol sudah akan kabur dengan alasan bahwa ia akan memakan ramennya di tempat lain, tapi laki-laki di hadapannya ini pasti tahu kalau ia berbohong.
Laki-laki yang tidak sengaja bertemu dengan Chanyeol malam itu adalah Kim Jongwoon. Guru muda yang dulu magang di tempat Chanyeol menghabiskan masa SMPnya. Laki-laki itu jugalah yang akhirnya membuat Chanyeol sadar akan seksualitasnya.
"Kau terlihat semakin tinggi –bahkan lebih tinggi dariku, tapi kau kurus sekali." Ujar Kim Jongwoon sambil menatap Chanyeol yang sedang menyeruput ramennya.
Chanyeol hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. Bertemu dengan laki-laki itu saja rasanya sudah canggung sekali.
"Aku tidak keberatan kalau kau memang tidak ingin berbicara denganku lagi, tapi dengan kau berpura-pura tidak kenal denganku seperti tadi, aku cukup kaget." Kim Jongwoon tersenyum.
Chanyeol merasakan pipinya memanas melihat senyuman itu. Entah kenapa tubuhnya masih bereaksi sama setiap kali bertemu dengan orang ini.
"Tidak seperti itu, hyung. Aku benar-benar tidak tahu kalau itu hyung." Sanggah Chanyeol berusaha menutupi kebohongannya.
Kim Jongwoon kembali tersenyum membuat kedua matanya membentuk garis melengkung. Chanyeol dulu tidak pernah bosan melihatnya.
"Bagaimana sekolahmu? Kau sudah punya pacar? Atau kamu mau jadi pacar hyung lagi?" Kata Jongwoon sambil tertawa.
Wajah Chanyeol memerah sepenuhnya dan ia hampir tersedak ramen yang baru saja ditelannya. Jongwoon kembali tertawa melihat reaksi Chanyeol.
"Bagaimana kabar hyung sendiri?" Tanya Chanyeol yang sudah menghabiskan ramennya dan kini beralih pada sekrim rasa cokelat di hadapannya.
Jongwoon tampak terdiam sebentar sebelum tersenyum dan mengangkat bahunya.
"Aku merasa jauh lebih baik. Setidaknya aku semakin sadar kalau passion ku memang bukan untuk mengajar. Aku menjadi asisten manajer sekarang." Jawabnya.
Bahkan hingga sampai saat ini, Chanyeol masih merasa bersalah dengan mantan guru sekaligus kekasihnya itu. Seandainya dulu dia tidak berhubungan dengannya, Jongwoon tidak akan kehilangan karirnya di bidang mengajar seperti sekarang.
"Aku sudah bilang berkali-kali kalau kau tidak perlu merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Aku bahkan tidak dipenjara dan masih bisa mencari pekerjaan lain, kalau itu membuatmu lebih baik." Ujar Jongwoon seperti bisa membaca ekspresi murung Chanyeol.
Chanyeol akhirnya tersenyum menanggapinya, karena ia juga tidak bisa memberikan kata-kata yang bisa menghibur laki-laki di hadapannya tersebut.
"Kau yakin kau sekarang baik-baik saja? Lingkaran hitam di matamu sudah sebesar milik Panda." Komentar Jongwoon sambil mengeluarkan ponselnya.
"Aku hanya kurang tidur." Kata Chanyeol.
Jongwoon tersenyum. "Sedang dalam masa liburan dan kau masih kurang tidur?"
Chanyeol menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Apa hyung boleh menyimpan nomor hp mu lagi? Kalau suatu saat nanti kau butuh seseorang untuk bercerita, aku siap mendengarkan." Jongwoon menyodorkan ponselnya ke arah ponselnya.
Dalam hatinya Chanyeol berterima kasih karena masih ada beberapa orang yang peduli dengannya, tetapi ia juga merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa menyembunyikan kondisi fisik dan mentalnya dengan baik di hadapan orang lain. Chanyeol paling tidak suka dikasihani.
Jongwoon mengambil ponselnya kembali setelah Chanyeol mengetikkan nomor hpnya di sana. Tak berapa lama ponsel Chanyeol berbunyi ketika Jongwoon mencoba nomor itu.
"Itu nomorku kalau kau mau menyimpannya." Kata Jongwoon.
Pada akhirnya Jongwoon berpamitan terlebih dahulu setelah keheningan menyelimuti mereka cukup lama. Pria berkacamata itu mengacak pelan surai hitam milik Chanyeol dan memasuki mobilnya.
.
.
Setelah 3 hari menghabiskan liburan di Beijing, akhirnya Yifan pulang ke Korea. Waktu menunjukkan pukul 10 malam ketika Yifan sampai di Bandara. Ia naik sebuah taksi untuk mengantarnya ke apartemen.
"Aku pulang."
Mrs. Wu menyambutnya dengan senyuman ketika Yifan memasuki apartemen. Wanita itu terlihat sudah memakai piyama tidurnya.
"Apa aku membangunkanmu?" Tanya Yifan.
Mrs. Wu menggeleng dan membantu Yifan membawa kopernya ke dalam sementara ia melepas sepatunya.
"How's Beijing?" Tanya Mrs. Wu yang meletakkan koper Yifan di ruang tengah sebelum akhirnya ia melangkah ke dapur untuk membuat teh.
"Nice . Aku membelikanmu sesuatu." Kata Yifan ketika ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.
"Thank you. " Mrs. Wu menyerahkan secangkir teh pada Yifan sembari duduk di samping putranya itu.
"Uh, kau tidak memberitahu Chanyeol kalau kau ke Beijing? Kemarin malam dia ke sini mencarimu." Ujar Mrs. Wu yang membuat Yifan membeku.
Selama tiga hari liburan yang ia habiskan di Beijing, ia berharap bisa menikmati liburan itu sepenuhnya, tapi pada akhirnya yang ia pikirkan adalah kembali ke Korea dan bertemu dengan Chan—
Yifan meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Ibunya.
"Chanyeol?" Ia memastikan sekali lagi.
Mrs. Wu mengangguk.
"Dia terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali aku lihat." Tambahnya.
Yifan tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Ia terlihat terburu-turu.
"Kau mau pergi lagi?" Tanya Mrs. Wu ketika Yifan sudah memakai sepatunya kembali.
"Uh, aku harus keluar sebentar. Sorry, Ma." Yifan kemudian berlari meninggalkan Mrs. Wu yang masih terlihat kebingungan dengan sikapnya.
Entah apa yang Yifan pikirkan kala itu, tapi mendengar Chanyeol datang ke apartemen, satu-satunya yang ingin ia lakukan saat itu adalah menemuinya. Yifan terkadang membenci spontanitasnya yang muncul di saat-saat tak terduga.
Dan yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah bagaimana ia bisa bertemu dengan Chanyeol padahal malam sudah semakin larut. Yifan kemudian mengeluarkan ponselnya dan berusaha menghubungi pemuda itu tetapi ia justru tersambung ke voice mail. Satu-satunya cara yang tersisa sekarang adalah menemukan rumah Chanyeol, dan itu adalah yang mustahil karena pemuda itu tidak pernah menyebutkan alamat rumahnya. Namun tak kehilangan akal, Yifan kembali membuka layar ponselnya dan mengetikkan sebuah kata kunci pada mesin pencarian.
Seoul International High School . Tak sampai 5 menit, deretan artikel yang mengarah pada kata kunci itu segera muncul. Yifan memilih website resmi milik sekolahnya dan meng-klik link profil. Muncul deretan sejarah dan sususan komite yayasan yang menaungi sekolahnya. Sebuah nama dengan marga Park muncul di deretan paling atas. Yifan kemudian mengganti kata kunci di mesin pencarian dengan nama Ayah Chanyeol itu.
"Fuck ." Yifan mengumpat ketika melihat alamat rumah Chanyeol yang ternyata cukup jauh dari tempatnya tinggal. Dengan uang yang tersisa di dompetnya Yifan memberhentikan sebuah taksi dan memberitahukan alamat yang akan ia tuju pada supir taksi.
Selama di perjalanan, Yifan terus berusaha menghubungi nomor hp Chanyeol yang tidak aktif. Berharap ada keajaiban pemuda itu akan mengangkatnya. Yifan sadar bahwa apa yang ia lakukan saat ini sangat tidak masuk akal. Kenapa ia tidak bisa menunggu sampai besok pagi untuk menemui Chanyeol?
.
.
Sementara itu, Chanyeol terlihat sedang meringkuk di sudut kamarnya ketika ia sadar bahwa waktu sudah beranjak malam. Pemuda itu memeluk kakinya di depan dada dan menundukkan kepalanya. Mr. Park memarahinya habis-habisan dan menyita kunci mobilnya kemarin karena ia keluar rumah tanpa izin. Chanyeol tertawa jika mengingatnya, ia seharusnya dijebloskan ke dalam penjara sekalian daripada tetap dibiarkan hidup terkurung seperti ini. Setidaknya Mr. Park tidak mengambil ponselnya. Ketika pikiran terlintas, Chanyeol baru ingat bahwa ia membiarkan ponselnya itu mati sejak kemarin.
Pemuda itu kemudian bangkit dari tempat favoritnya selama beberapa hari terakhir selain tempat tidurnya dan meraih ponselnya. Ia kemudian menyambungkannya pada charger dan menyalakannya.
Beberapa pesan segera masuk. Chanyeol mengernyit ketika melihat nama Yifan di antara pesan-pesan itu. Ia sudah akan menghubungi pemuda itu ketika ponselnya bergetar menandakan adanya telepon masuk.
WYF tertera di layar ponselnya. Chanyeol awalnya ragu-ragu untuk mengangkatnya, tapi setelah beberapa lama akhirnya pemuda itu menekan tombol hijau pada ponselnya.
"Ku kira kau sudah mati." Ucap Yifan ketika akhirnya teleponnya tersambung.
Chanyeol mendengus ketika mendengarnya. Seandainya mati bisa semudah itu.
"Kau bisa keluar sebentar? Aku ingin bertemu denganmu."
Hening. Chanyeol berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang gelap.
"Bukankah kau sedang di Beijing?" Tanya Chanyeol sambil menggigit kuku jarinya.
Hening kembali. Chanyeol bisa mendengar Yifan menghela nafas.
"Aku sudah di depan rumahmu."
Chanyeol menghentikkan langkah kakinya dan berdiri mematung. Detak jantungnya seketika berhenti tapi kemudian berdetak dengan lebih cepat.
"What? " Chanyeol segera berlari ke arah balkon yang terletak di samping jendela kamarnya. Dan benar saja, ia melihat Yifan berdiri di depan rumahnya sambil melambai ke arahnya.
"Cepat keluar atau aku akan berteriak memanggilmu dari sini." Ancam Yifan.
"Kau gila!" Tapi entah kenapa Chanyeol tidak bisa menghentikan sudut bibirnya yang tertarik membentuk senyuman.
Chanyeol segera menutup teleponnya dan dengan nafas tersengal karena terlalu excited , ia melepaskan piyamanya dan menggantinya dengan sebuah kaos dan celana jeans. Tak lupa ia meraih sebuah cardigan untuk melindungi tubuhnya dari udara malam.
Dengan hati-hati pemuda itu menutup kamarnya dan sebisa mungkin tidak tidak menimbulkan suara apapun ketika ia membuka laci di lemari di lantai satu untuk menemukan kunci cadangan rumah itu. Chanyeol sadar betul bahwa ia sedang melakukan hal yang berbahaya saat ini, tapi ia seperti tidak peduli dengan segala konsekuensi yang akan ia dapatkan nantinya.
Setelah berhasil membuka pintu utama dan memastikan satpam yang biasa berjaga di dekat gerbang sedang lengah, Chanyeol membuka pintu gerbang mansion yang ia tinggali selama enam belas tahun itu. Yifan berdiri sambil memasukkan kedua tangannya di saku jaketnya ketika Chanyeol akhirnya berhasil keluar.
"Hi. " Sapa Yifan. Suasana mendadak canggung ketika mereka akhirnya bertatap muka setelah beberapa lama tidak saling menyapa.
Chanyeol melirik sebuah kamera CCTV yang terpasang di sudut pagar yang mengelilingi rumahnya sebelum menoleh ke arah Yifan.
"Ayo kita pergi dari sini." Kata Chanyeol sambil memakai cardigannya.
.
.
.
Chanyeol sedikit bersyukur karena Ayahnya masih belum memblokir kartu kreditnya ketika ia sadar di dalam dompetnya tidak ada uang tunai sama sekali. Setelah berjalan beberapa blok dari rumahnya, Yifan dan Chanyeol akhirnya memutuskan untuk datang ke lapangan basket yang biasanya mereka datangi. Sebelumnya, Chanyeol mampir ke sebuah minimarket untuk membeli beberapa kaleng bir, sebotol vodka dan sebungkus rokok. Yifan akhirnya mengetahui bahwa Chanyeol bisa membeli barang-barang itu karena ia membayarnya dengan lebih mahal dari harga normal dan sepertinya kasir minimarket itu juga sudah hafal betul dengannya.
"Ibuku akan membunuhku kalau aku tidak pulang malam ini." Ujar Yifan ketika ia membuka sekaleng bir. Untuk pemuda seusianya, Yifan sudah terlalu banyak menenggak minuman beralkohol.
"Aku akan membantunya kalau begitu." Kata Chanyeol menanggapi. Pemuda itu membuka bungkus rokok yang terlihat tidak biasa.
"Lihat apa yang aku dapat." Chanyeol mengeluarkan sebuah lintingan yang terlalu kecil untuk berisi tembakau.
Yifan hanya mendengus. Tapi akhirnya ia merasa lega karena bisa melihat pemuda itu lagi. Meskipun benar apa yang dikatakan Mrs. Wu sebelumnya bahwa Chanyeol terlihat lebih kurus dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Yifan duga itu bukan disebabkan karena alkohol atau ganja yang teradang dikonsumsinya.
"Sudah lama sekali." Chanyeol menghisap lintingan di tangannya.
Keheningan kemudian menyelimuti mereka berdua. Yifan tidak menyangka sebelumnya bahwa memperhatikan Chanyeol menikmati ganja adalah sesuatu hal yang menarik untuk dilakukan.
"Apa kau mengajakku bertemu hanya untuk memandangiku seperti itu?" Tanya Chanyeol ketika ia sadar sedang diperhatikan.
Yifan tersenyum dan mendengus. Ada banyak hal yang ia ingin katakan –dan lakukan ketika bertemu Chanyeol malam itu. Tapi ketika saat itu terjadi, ia justru kehilangan rencana yang ada di kepalanya.
"Kenapa kau datang ke rumahku? Terakhir kali ku ingat kau masih marah padaku." Ujar Yifan yang menyandarkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat di atas lutut.
Chanyeol menghisap lintingan ganjanya dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tersesat."
Ia tidak mau mengakui bahwa pada saat itu ia tidak tahu harus pergi ke mana dan satu-satunya tempat yang terlintas dalam pikirannya adalah rumah Yifan.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Yifan yang masih belum puas dengan jawaban Chanyeol.
Pemuda itu tiba-tiba tertawa. "Oh God! Bisakah orang-orang berhenti menanyakan keadaanku? Apa aku terlihat seburuk itu hingga setiap orang yang melihatku akan bertanya apa aku baik-baik saja? Apa peduli mereka? Apa pedulimu?" Chanyeol membuang lintingan di tangannya yang sudah habis terbakar dan berniat untuk menyalakan lintingan yang lain.
Tangan pemuda itu gemetaran hingga membuatnya kesulitan untuk menyalakan korek api. Chanyeol yang merasa frustrasi akhirnya melempar lintingan dan korek api itu begitu saja. Ia merasa dirinya terlihat menyedihkan kala itu, ditambah dengan Yifan yang tidak juga mengalihkan pandangannya.
"Kenapa tidak kau jawab saja pertanyaan orang-orang itu? Mereka menanyakannya karena ingin mengetahui keadaanmu." Kata Yifan.
"Lalu apa? Setelah orang-orang mengetahuinya, apa yang bisa mereka lakukan pada apa yang aku rasakan?" Chanyeol menaikkan nada bicaranya. Ia tiba-tiba merasa kesal. Ia sudah cukup lelah dan tidak tertarik untuk berdebat dengan Yifan atau siapapun.
Yifan diam tapi ia masih tidak mengalihkan pandangannya dari Chanyeol. Sementara itu Chanyeol justru berbalik dan duduk memunggunginya. Angin malam berhembus cukup kencang. Yifan tidak tahu apa yang dirasakan Chanyeol kala itu, tetapi ketika melihat tangan kiri Chanyeol bergerak di wajahnya, ia tahu pemuda itu sedang menangis.
Yifan membeku di tempatnya duduk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika sesekali bahu Chanyeol berguncang. Pemuda itu menangis tanpa suara. Setelah beberapa lama dan Chanyeol tidak juga membalikkan tubuhnya lagi, Yifan akhirnya bangkit dan berjongkok di hadapan Chanyeol yang segera memalingkan wajahnya.
"I'm sorry. " Yifan berbisik dan meletakkan tangan besarnya pada pipi kiri Chanyeol yang basah. Chanyeol berusaha menampik tangan itu tapi Yifan justru menarik kepalanya hingga tenggelam di dadanya.
Aroma tubuh Yifan menguar darinya dan membuat Chanyeol justru menangis semakin keras. Tangisan yang sudah ditahannya selama beberapa bulan, dan bahkan bertahun-tahun akhirnya runtuh darinya. Jaket Yifan mungkin sudah basah di bagian Chanyeol menenggelamkan wajahnya, tapi ia tetap menahan Chanyeol di sana.
Yifan mungkin tidak bisa menghentikan penyebab dari tangisan Chanyeol, tapi ia ingin menjadi satu-satunya orang yang berada di sampingnya ketika pemuda itu menangis.
.
.
.
Mereka berdua tetap tinggal di tempat itu meski malam semakin larut dan angin berhembus semakin kencang. Namun kali ini mereka berbaring di atas lantai semen itu, dengan Chanyeol yang menggunakan lengan kanan Yifan sebagai bantalan sementara tangannya memeluk dada pemuda itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya tapi Chanyeol sudah berhenti menangis meski mata dan hidungnya masih memerah dan bengkak.
Pemuda itu mengeratkan pelukannya di dada Yifan. Sebuah tempat yang lebih nyaman dari sudut kamarnya.
"Apa kita akan tidur di sini?" Tanya Yifan setelah beberapa saat.
"Aku tidak mau pulang." Kata Chanyeol yang sama sekali tidak berniat untuk mengubah posisi mereka saat itu.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat. Kau mau pergi ke pantai besok?" Chanyeol mendongakkan kepalanya untuk menatap Yifan yang sedang fokus menatap langit yang berwarna pekat di atas mereka.
"Aku tidak punya uang." Kata Yifan sambil menghela nafas.
"Tentu saja kau tidak punya uang karena kau baru saja menghambur-hamburkannya di Beijing dan tidak memberitahu aku." Gerutu Chanyeol.
"Shut up !" Yifan mencubit pinggang Chanyeol dan membuat pemuda itu terkikik sambil menggeliat.
"Aku akan pulang besok dan mengambil mobil lalu aku akan menjemputmu." Kata Chanyeol sambil menyamankan kembali posisinya.
"Aku tidak yakin kalau kau masuk ke rumah itu kau bisa keluar lagi." Yifan mengernyitkan dahinya.
"Aku akan melakukannya. Ayo kita ke pantai besok." Janji Chanyeol.

PARADISEWhere stories live. Discover now