2. Dimensi Baru

20.1K 1.9K 133
                                    

Suara kicau burung kacer menyusup ke gendang telinga Ansel yang sedang menjelajahi alam mimpi. Seraya mengerjapkan matanya, ia melirik jam dinding di kamarnya. Karena jarum pendek menunjuk ke arah empat, ia pun berniat melanjutkan tidurnya kembali.

Baru saja ia ingin menutup mata, suara ibu-ibu yang cukup cempreng terdengar begitu keras memenuhi ruangan. Apakah Ansel salah melihat jam? Ataukah jam di kamarnya telah menghembuskan napas terakhirnya?

Ah, padahal Ansel yakin sudah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "ANSEL!" Suara itu tak lain tak bukan adalah suara Alyviah, ibu kandungnya.

Tok tok tok

"Sayang, Ibu masuk, ya? Nggak dikunci, kan? Kamu masih pakai celana, kan?" Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Alyviah masuk ke kamar anak laki-lakinya itu.

"Kamu gak sekolah? Hari ini tanggal berapa, sih? Perasaan, bukan tanggal merah. Atau ibu yang salah lihat tanggal? Sekolah kamu ada yang kesurupan? Jangan-jangan kebanjiran? Gurunya rapat sampai pagi?" tanya Alyviah tanpa jeda seraya menghampiri tempat tidur anak sulungnya itu. Sprei warna hitam sudah terlepas dari kasurnya. Bantal kesayangan Ansel sejak bayi pun sudah tergeletak di lantai saking brutalnya ia tidur. Sepertinya, ia bermimpi diterjang gempa.

Suara serak Ansel terdengar, "Masih jam empat." Alyviah menyibakkan selimut yang menutupi wajah tampan Ansel.

"Jam empat apaan? Ini udah setengah tujuh!" ucap Alyviah. Lalu matanya melirik jam di dinding, "Astaga, jam kamu udah tamat riwayat hidupnya!" kata Alyviah yang melihat jarum pendek jam itu tidak lagi berdetak alias habis baterai.

Ansel merubah posisinya menjadi duduk. Dengan refleks, ia mengecek ponselnya yang sengaja ia simpan di atas nakas samping tempat tidurnya. Ternyata memang benar, sekarang sudah setengah tujuh lewat dua puluh menit. Namun, bukannya langsung beranjak, cowok itu malah kembali berbaring seraya menarik selimutnya.

"Ini kenapa malah narik selimut lagi? Ya Allah, anakku?!" tanya Alyviah keheranan.

"Masih ngantuk," ucapnya berat.

"Ibu aduin Ayah nih, ya?" ancam Alyviah.

Sebenarnya tiada guna ia mengadu pada Rafka, suaminya, karena Rafka pasti berpihak pada anaknya. Di rumah ini, tak ada satu pun dari anaknya yang memihaknya.

Bukannya langsung bangun saat mendengar ancaman ibunya, Ansel tambah terlihat pulas sehingga membuat Alyviah semakin kesal. "RAFFFFF!" teriak Alyviah yang membuat Ansel menutup telinganya.

Ibunya ini penyanyi seriosa atau ahli gizi? Suaranya melengking sekali seperti toa masjid. Setahunya, suara ahli gizi itu lembut karena, kan, berhubungan langsung dengan masyarakat. Memberikan konseling dengan ramah sehingga klien lebih terbuka dalam mengatasi masalahnya.

Sejurus kemudian, Rafka datang bersama Nazo, saudari kembar Ansel yang sudah berpakaian seragam lengkap dengan atasan berwarna putih, dan rok berwarna cokelat. Tak lupa dengan dasi berwarna merah putih yang belum diikat. "Kenapa?" sahut Rafka yang menatap Alyviah.

"Kenapa, Bu? Suara ibu kedengeran sampai rumah Pak RT, tahu," Nazo jadi ikut penasaran.

"Anak kamu, nih, gak mau sekolah. Dibangunin malah tidur lagi. Ngantuk katanya! Itulah akibatnya kalo main game terus. Malam begadang, paginya kesiangan. Nanti, kalo diomelin, alasannya ngantuk berat!" adu Alyviah pada Rafka.

DIMENSI (Completed)Where stories live. Discover now