5. Dimensi Kecipratan

13.8K 1.4K 33
                                    

Sepatu Tomkins berwarna putih dipakai cowok yang masih berseragam sekolah untuk mengayuh sepeda menyusuri jalan pulang. Di punggung cowok itu terdapat tas yang hanya berisi buku tulis dan beberapa pena hasil nikung. Buku pelajarannya sengaja ia tinggalkan di dalam laci kelas. Biar tidak berat, menurutnya.

Cowok itu hanya fokus menatap depan tanpa sesekalipun menatap sampingnya. Padahal, di sisi kiri dan kanan jalanan ramai orang- orang beraktifitas. Banyak perumahan baru dan ruko yang berdiri di sisi kiri dan kanan jalan.  Mulai dari ruko isi ulang pulsa hingga kantor pegadaian yang bisa mengatasi tanpa masalah.

Baru lima menit ia memasuki gapura kompek rumah dengan sepedanya, tiba-tiba ada 'bisikan kasar' yang memanggil namanya. "Hei, Aan!" Oh tidak, ia tidak tahu siapa yang dipanggil cewek itu. Hal inilah yang membuatnya tak memerdulikan panggilan itu. Karena sampai saat ini namanya masih Ansel. Bukan Aan.

"Aan! Se--" pekik cewek itu sekali lagi. Ansel berlalu begitu saja tanpa menyahuti panggilan cewek yang menyebut-nyebut namanya sedari tadi. 

"Aan, sepeda kamu nyipratin becekan ke muka aku!" teriak cewek itu kesal. Kuvvi mengelap kotoran yang ada di mukanya memakai telapak tangannya. Yang lebih membuatnya kesal adalah tanpa rasa bersalah, Ansel meninggalkannya. Tanpa kata maaf, baju jeans cewek itu terciprat air yang bercampur kotoran aspal sehingga menciptakan bau yang mematikan.

Ansel mendengar teriakan cewek itu samar-samar. Namun, ia tidak menghiraukannya. Toh cewek itu menyebut nama Aan, bukan dirinya. Ansel Garabaldi, itulah namanya. Bukan Aan atau apapu itu. Ia pun melajukan sepedanya menuju rumahnya. 

Sementara cewek itu masih berjalan seraya mengumpat sendiri. "Dasar! Cowok nggak bertanggung jawab! Nggak peka! Bukannya dielapin, malah ninggalin." 

Kuvvi menoleh ke sekitarnya, orang-orang di sana asik menertawakannya. "Makanya, Dek. jalan itu di trotoar. Bukan di bawahnya," ucap bapak-bapak yang tiba-tiba menghampirinya. 

"Tadi saya udah di trotoar, Pak." Kuvvi menghela napas dan berhenti menjelaskan. Percuma. Bapak itu tidak menyaksikan secara langsung adegan kecipratan itu. Ia hanya melihat hasilnya. Kuvvi sudah berjalan di trotar.

Hanya ada satu ibu-ibu yang menenangkannya seraya berkata, "sabar, Dek. Bentar lagi, kamu bakal dapet rejeki."

"Iya, Bu. Terima kasih." Kuvvi hanya mengaminkan do'a ibu itu. Tapi, apa hubungannya kecipratan dengan mendapat rejeki? Apakah ini arti dari setelah kesusahan akan ada kemudahan.

****

Sesampainya di rumah, Ansel mendapati paman jauhnya, Adit sedang mengobrol dengan ayahnya di ruang tamu. "Ponakan gue makin ganteng aja." Ansel dan Adit ber-highfive layaknya anak muda zaman now. Seperti keponakan dan paman yang tidak pernah bertemu. Padahal, hampir setiap minggu Adit mengunjungi rumahnya. Kalau tidak, Ansel yang mendatangi rumah Adit. Ansel memang dekat dengan teman-teman ayahnya. Sudah seperti paman kandung sendiri.

"Masih naik sepeda, Sel?" tanya Adit yang melihat muka Ansel dipenuhi keringat.

"Masih." Ansel pun duduk di sofa seberang paman dan ayahnya.

"Raf, gimana sih? Beliinlah! Udah SMA masih pakai sepeda," ujar Adit menatap Rafka.

"Gak papa, Om." Ansel bukannya tidak ingin motor atau mobil, ia hanya lebih suka mengendarai sepeda. Selain itu, ibunya juga tak akan mengizinkannya mengendarai motor sebelum ia cukup umur.

"Assalamu'alaikum." Suara seseorang mengintrupsi pembicaraan mereka. Dengan kompak mereka pun menjawab salam itu.

"Masuk, Dek," ujar Adit mempersilakan.

"Misi, Om. Mohon izin. Kuvvi mau minta tanggung jawab, Om." Ucapan Kuvvi sukses membuat Rafka dan Adit membelalakkan matanya.

"Tanggung jawab apa? Sama siapa?" tanya Adit bingung.

DIMENSI (Completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu