Part 1. The Fighters

3.7K 369 50
                                    

Mengetahui matahari telah naik terlalu tinggi, Park Jimin menarik dirinya dari balutan selimut kemudian menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Katupnya menguap lebar selagi mengucek sepasang netra yang lelah. Ia melirik ke samping tempat tidurnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Uang di atas nakas yang disimpannya ke dalam sebuah amplop putih juga sudah raib. Menandakan bahwa si wanita pemuas sudah pergi―entah sejak kapan.

Jimin bergerak turun. Memungut pakaiannya yang tercecer lantas melemparnya serampangan ke keranjang kotor di dalam kamar mandi. Usai itu, ia pun bergegas membersihkan diri dari kekacauan semalam.

Shower menyala dengan guyuran air cepat yang membasahi tubuhnya. Jimin menengadah, membiarkan ribuan tetes tersebut menyerbu wajahnya. Memberikannya sensasi dingin yang sesegera pula menjernihkan pikiran. Ia mendengus dengan suara pelan. Saat kau sedang stres berat, tapi tidak diperkenankan mabuk atau merokok, maka satu-satunya jalan yang kau punya hanya menyalurkan libido kepada wanita yang bersedia menemanimu menghabiskan malam. Itulah yang Jimin lakukan semalam, dan malam-malam sebelumnya ketika ia merasa benar-benar butuh pelampiasan dari segala beban yang memberati kepala.

Tentu, Jimin tidak merasa itu benar. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak diberikan pilihan. Pun Kim Taehyung hanya menyarankan cara ini untuk bersenang-senang, sedangkan lelaki tengik itu bisa mencicip ketiganya secara bersamaan. Sialan.

Jimin menarik selembar handuk selesai membilas semuanya. Ia keluar dari kamar mandi, melingkarkan handuk pada pinggul yang menjuntai turun sepanjang lutut. Lantas menuju closet pribadinya dan mengeluarkan pakaian olahraga, sebelum akhirnya keluar malas-malasan dari kamarnya.

"Malam yang luar biasa, hm, sampai kau harus bangun jam segini?" sapaan tersebut datang dari arah meja makan. Si sosok menyilangkan kaki, melempar sebutir kacang almond yang kemudian masuk dengan sempurna ke dalam mulut. Kekeh sintingnya terdengar tak lama kemudian sebagai satu bentuk kebanggaan.

Jimin mendesah. Menunda kepergiannya berolahraga untuk menemui orang tersebut. Duduk di seberangnya, ia lalu menuang isi boks jus ke dalam gelas kosong. Meneguk habis setelahnya.

"Ia berteriak seperti orang kesetanan." Jimin menyambar selembar roti, mengolesinya dengan selai cokelat. "Aku sampai takut pita suaranya akan putus," ujarnya sembari bergidik mengingat perbuatannya semalam.

Tawa si sinting teman Jimin itu meledak setelahnya. Beruntung almond dalam mulutnya telah tandas, kalau tidak, mungkin ia bisa saja tersedak. Kendati Jimin benar-benar mengharapkan hal itu terjadi agar Kim Taehyung dan tawa sember yang selalu mengganggu telinganya ini tak terdengar lagi seumur hidup.

"Demi Tuhan, Jim, bukankah itu justru lebih menggairahkan?"

Jimin menggeleng cepat. "Jangan pernah membawanya lagi, kuperingatkan! Atau aku akan tuli dengan hanya tidur dengannya dua malam," katanya seraya bangkit, menuang kembali jus ke dalam gelas, meneguknya segera setelah menelan potongan roti terakhirnya.

"Kau akan pergi ke gym?" Taehyung turut berdiri, sedikit berlari menyusul Jimin yang sudah berjalan meninggalkan meja makan.

"Ya." Jimin menyahut sambil lalu. "Dan menghindari obrolan busuk denganmu tentang jalang," ketusnya.

Taehyung kembali terbahak keras, merangkul bahu Jimin dan menepuk-nepuknya perlahan. "Ayolah, Man, hanya itu cara kita bersenang-senang," timpalnya ceria, mengabaikan Sang Kawan dengan airmukanya yang mulai menggelap.

"Kita? Aku saja, mungkin. Sementara kau bebas melakukan apa pun semaumu. Dasar licik!"

"Kalau begitu, biarkan aku mengisi posisimu, dan kau jadi aku. Bagaimana?"

"Dan kau akan menjatuhkan pamorku?" Jimin mencebik. "Tidak akan kubiarkan itu terjadi, Tae."

Taehyung mengendikkan bahu. "Kalau begitu terima risikonya dan jangan banyak mengeluh seperti perempuan, Park Jimin."

[M] Locked InWhere stories live. Discover now