Part 25. To Be Happy

607 50 18
                                    

Rasanya hampir putus asa.

Sudah seharian penuh, dengan hanya beristirahat untuk makan siang di kedai Bibi Ahn yang menyajikan kari ayam pedas langganan Jimin, lelaki Park yang kini sudah seperti gelandangan itu mengitari kota Seoul yang masih padat kendati petang telah datang. Ia masih berharap, sebelum benar-benar terikat selamanya, Jimin dapat bertemu dengan Lila dan meminta maaf dengan benar.

Meski kemungkinan terbesar ia akan jatuh lagi kepada gadis itu ketika bertatap muka, setidaknya bayang rasa bersalah tak terus-terusan melilit jantung sampai terasa sulit untuk bernapas. Jimin benar-benar perlu bertemu, bicara secara lugas tentang maksudnya, dan meminta maaf dengan tulus mengenai apa pun yang pernah mereka lakukan bersama.

Alih-alih, pemuda itu harus dihadapkan dengan kabar menghilangnya Lila dari kota ini. Bukan benar-benar menghilang, namun gadis itu sepertinya tengah berada di satu belahan bumi yang lain untuk sekadar menenangkan diri. Lantaran ketika ia datang ke kantornya, rekan si gadis yang bernama Lee Jinhyuk berkata bahwa, Lila ambil cuti untuk sementara.

Jimin belum begitu percaya awalnya, ia pergi ke flat milik gadis itu dan memastikan keberadaan Lila di sana. Nihil. Ucapan Jinhyuk mulai terbukti dan membuatnya percaya bahwa si gadis sungguhan menghilang darinya.

Pemuda itu pikir, Lila hanya pergi menenangkan diri ke tempat yang bisa dijangkaunya, di bar atau malah pergi ke sauna. Tapi di tempat-tempat seperti itu juga tidak ada. Di segala sudut kota ini, Jimin tidak berhasil menemukan Lila.

Malah, ketika perutnya mulai berkeriut lapar lagi, ia menemukan sosok tak asing―sedang bercengkerama ramah-tamah bersama seseorang di depan sebuah kafe. Cangkir kopi mereka masih mengepulkan asap yang menandakan bahwa keduanya baru saja mampir di tempat itu dan memilih untuk duduk di luar kafe selagi memerhatikan lalu-lalang di sekitar.

Jimin cukup yakin ia masih mengenali wajahnya meski ada yang sedikit berubah dari penampilannya―oh, tunggu! Kenapa rasanya ia pernah memerhatikan jaket kelabu dengan corak hitam yang dikenakannya? Hari itu, meski kepalanya agak pening, Jimin yakin pernah melihat jaket tersebut sebelumnya.

Ah, tentu saja, ternyata dia pemiliknya.

Luka lebam tak lagi menghias sisi-sisi wajah, helaian gondrong kemarin dipangkasnya rapi hingga menampilkan sudut wajahnya yang sempurna, dan hal itu sontak membuat Jimin berjengit terkejut; sebegini tampannya pemuda itu, pantas Lila tak berpikir dua kali lagi untuk memeluknya malam itu.

Bersembunyi di antara gerombolan orang yang berjalan santai di trotoar, Jimin merasa kepalanya tahu-tahu linglung. Ia kalah telak. Selama ini, ia berpikir Kim Taehyung-lah orang paling tampan yang pernah ia temui, tapi nyatanya, ada satu orang tampan lain yang tanpa sengaja merangsek masuk ke dalam hidupnya. Agaknya, Tuhan memberi terlalu banyak serbuk ketampanan pada pemuda itu hingga ia menyedot perhatian nyaris seluruh pasang mata yang melewati jalan di depan kafe tersebut. Bahkan, tak terhitung lagi berapa gadis muda yang memotretnya secara diam-diam dari kamera ponselnya.

Menariknya, pemuda itu tak terlalu peduli. Ia sebetulnya tidak sedang tebar pesona sana sini, tapi tanpa melakukan hal itu pun, pesonanya sudah memancar di luar kendali. Jimin jadi berpikir apa pemuda itu juga rusak sepertinya atau tidak? Karena jika hidupnya pun sempurna, bisa dipastikan bahwa Jimin sudah benar-benar kalah.

Menyeret tungkainya pergi, Park Jimin lantas berhenti pada sisi jalan dan kembali menatap ke seberang. Kedua orang itu sepertinya belum ingin menyudahi obrolan mereka, tapi Jimin sudah gatal ingin menyapa pemuda itu dan mengorek informasi darinya. Setidaknya, ia pasti tahu di mana Lila saat ini. Atau jika tidak, ia bisa menghubungkan Jimin dengan Lila. Oh, ya ampun, ponsel gadis itu pun dimatikan sejak pertemuan terakhir mereka malam itu.

[M] Locked InWhere stories live. Discover now