Part 12. Small Trick

789 125 13
                                    

"Siapa?"

"Apanya?"

Taehyung meninju bahu Jimin ketika pertanyaan seriusnya dibalas sambil lalu oleh si kawan. Mendesis tertahan, lelaki Kim tersebut kemudian duduk di salah satu sisi ring ketika Jimin lantas beradu pukul dengan Sanghyuk―kembali melakukan latihan rutin usai semua sesi wawancara dilakukannya dengan cepat.

"Perempuan barusan, siapa?" Taehyung memperjelas pertanyaannya.

"Yang mana? Ada dua perempuan yang baru saja melakukan wawancara," sahut Jimin, berguling di atas ring tatkala melakukan kuncian pada lawannya.

"Rambut panjang; yang bersamamu lebih awal."

Jimin melirik tajam. Kontan melepas kuncian dan terduduk sembari menatap Taehyung penuh selidik. "Kenapa? Dia terlihat menarik buatmu?"

"Jika menarik yang kau maksud karena kalian tampak begitu akrab, maka, ya. Itu agak menarik."

Jimin tersenyum timpang, membasuh peluh menggunakan lengan, kemudian bergeser duduk di sebelah Taehyung. Jemari menggapai botol air mineral yang disediakan temannya tersebut di sebelah ring, meneguknya tak lama kemudian.

Jika boleh berpendapat, Jimin merasa bahwa Taehyung agak aneh belakangan ini. Lelaki itu sering melamun, terkadang berbicara sendiri, dan tak jarang ia berkelakar tentang sesuatu yang krusial―semacam kematian. Jimin mungkin sering mendengarnya bicara omong kosong selama ini, tapi mendadak, Taehyung dengan segala pemikiran konyolnya berubah menjadi penuh misteri. Segala hal yang terucap dari bibir, terkesan begitu serius dan seolah-olah hal itulah yang akan terjadi di masa mendatang.

Jimin tertawa. Temannya ini tak berubah menjadi cenayang, bukan?

"Aku tidak tahu kenapa kau berpikiran begitu, tapi apa terlihat aneh saat kita akrab dengan seseorang? Dia wartawan yang akan mewawancaraiku, bukankah itu sudah sepantasnya?"

"Memang, tapi kedekatan kalian ini terasa agak lain."

"Lain dalam segi apa?"

"Seperti ada campur tangan takdir."

"Ha?"

Taehyung mengibaskan tangan. "Sudahlah, kujelaskan sampai mulutku berbusa pun kau tidak akan mengerti," ujarnya lantas mendengus, menyerah. Ia melompat turun dari ring dan diikuti oleh Jimin. "Sebaiknya kau segera pulang," katanya kemudian.

"Kenapa?" tanya Jimin acuh tak acuh, melepas sarung tinjunya dan dilempar serampangan ke arah Sanghyuk.

Harusnya, bukan menjadi masalah yang rumit. Namun, ketika Taehyung tak menjawab dan hanya melenggang cuai ke luar dari bangunan pusat kebugaran, perasaan tak nyaman menumpuk dalam benak Jimin. Ia buru-buru berpamitan pada semua rekan dan pegawai untuk kemudian berlari menuju lahan parkir. Jimin berharap, ia masih menemukan Taehyung―berencana memberondong pertanyaan pada lelaki itu―tapi mobilnya sudah lebih dulu ke luar dan bergabung bersama puluhan mobil lain di jalanan kota.

Jimin mendesah. Hari sudah benar-benar gelap saat ia ke luar, tak terdapat satu pun bintang di langit malam. Ia berjalan gontai menuju mobilnya, duduk di kursi kemudi selama beberapa saat; belum berniat menjalankan kendaraan tersebut. Kelopak mata terpejam rapat, jemari mencengkeram kemudi kuat-kuat. Jimin merasa ada yang tidak benar belakangan ini.

Semua ini bermula dari perubahan sikap Taehyung dan datangnya Joeun secara tiba-tiba ke hidupnya. Jimin semula tak berniat begitu dekat, hanya saja, Joeun seperti punya daya tarik tersendiri. Seolah-olah, jika gadis itu sebentuk galaksi, maka Jimin siap saja mengisi posisi sebagai konstelasi bintang yang paling terang. Menyinari setiap saat, pula menunjukkan pada orang-orang di mana letak galaksinya berada. Tetapi, ketika mengingat ucapan Taehyung tempo hari, Jimin jadi ingin berpikir keras. Mengapa tidak boleh Joeun? Apa yang membuat gadis itu berada di dalam garis terlarang?

[M] Locked InWhere stories live. Discover now