Part 24. Decision

399 62 12
                                    

Jungkook tersenyum aneh begitu ia menatap pantulan dirinya di cermin usai mencukur rambutnya. Lelaki itu seolah tengah melihat orang lain di sana, seperti bukan dirinya yang selama ini selalu mempertahankan rambut gondrong yang terkesan urakan itu. Apalagi saat kemarin wajahnya tampak lebam di segala sisi, orang-orang makin mengira ia hidup dengan buruk selama ini.

Padahal, tidak ada yang salah. Hidupnya berjalan baik dan ia cukup menikmatinya. Hanya saja, terkadang memang kesialan tidak dapat dihindari. Sekeras apa pun kita mencoba mangkir, pasti akan datang juga. Dan Jungkook baru menerima satu kesialan itu beberapa minggu yang lalu.

Jungkook bukannya ingin memedulikan omongan orang ketika ia mencukur rambutnya sedikit lebih pendek dengan model comma dan diwarnainya cokelat tua, ini semua juga bukan demi siapa pun, ia hanya melakukannya untuk buang sial. Katanya, mencukur rambut bisa menjauhkan hal-hal buruk yang dapat menimpa. Entah teori dari mana, tapi Jungkook mau memercayainya saja, sesekali.

Lelaki itu lantas menyisir belahan rambutnya sesuai yang diinginkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dari barbershop dengan senyum yang terlengkung manis―satu lagi hal ajaib yang dilakukannya hari ini. Dari mana dorongan untuk melengkungkan labiumnya itu datang, Jungkook bahkan tidak peduli dan tak mau tahu. Lagipula, ia tak perlu membayar pajak hanya karena tersenyum seperti itu, bukan?

Sudah hampir tengah malam saat ia berjalan pulang menyusuri trotoar. Jalanan tampak lenggang, namun beberapa kedai makanan masih menunjukkan eksistensi dengan dipenuhinya kursi-kursi mereka oleh pengunjung. Toko serba ada yang buka selama dua puluh empat jam, mulai disambangi muda-mudi yang melakukan jajan tengah malam atau yang biasanya disebut midnight snack―padahal Jungkook tahu betul mereka pasti mengendap-endap saat ingin keluar bersama pacarnya di tengah malam begini.

Tsk, ia jadi ingat masa sekolahnya yang suram; yang tiada hari tanpa masuk ke ruang detensi. Jungkook mungkin dicap berandal kala itu, hobi sekali memukul temannya cuma karena ingin praktik berkelahi. Sejak itu pun, ia selalu ingin menjadi seorang petinju―atau paling tidak bisa masuk dan bertarung di Under Pride. Tapi ia selalu gagal lolos karena ada yang salah dengan kakinya sejak kecil.

Jungkook sudah mencoba beberapa kali, tapi ia tetap ditolak dengan alasan yang sama. Dan ketika ia mulai putus asa, seorang teman menyarankan dirinya untuk pergi ke Red Anger dan mencoba peruntungannya. Entah bagaimana sistem seleksinya, namun Jungkook bisa masuk dan mulai bertarung di sana.

Namun, setelah beberapa bulan, ia tahu-tahu didepak keluar dengan alasan kakinya yang terlalu lemah, padahal ia yakin betul sudah bertarung semaksimal mungkin selama ini. Tapi, ya, ia tetap tidak sempurna, ia juga tak dapat melakukan apa-apa untuk menyembuhkan kakinya. Malah, saat mengajukan protes kemarin, Jungkook justru hampir tewas.

Mungkin, menjadi seorang petarung bukanlah hal cocok untuknya. Meski begitu, ia tetap suka berkelahi; tetap menyukai adu fisik karena itu satu-satunya cara yang bisa menguatkan dan menunjukkan siapa dirinya. Jungkook tidak suka dianggap lemah dan tidak becus.

Hari semakin malam dan Jungkook mendadak tak ingin pulang cepat-cepat. Ia memutuskan untuk berbelok arah, berjalan-jalan sedikit lebih jauh lagi. Sudah lama sekali ia tak melakukan hal semacam ini. Selain berkelahi, jalan-jalan di tengah malam begini adalah caranya untuk menikmati hidup. Ia bisa bebas pergi kemana pun; melakukan apa pun asal tak merugikan orang lain.

Jungkook suka saat angin malam saling beradu dengan kulitnya. Membuatnya sibuk berbahagia dengan caranya, dan lupa dengan segala duniawi yang memberati kepala. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, berlari dan menyanyi seolah ia sudah tak waras lagi. Masa bodoh, karena tak ada siapa pun yang melihatnya di sini. Inilah dunia barunya ketika semua orang terlelap dan sibuk memasuki mimpi.

[M] Locked InWhere stories live. Discover now