Part 5. Monster Inside

1.6K 195 17
                                    

"Kenapa dia masih saja hidup? Kenapa Tuhan tidak segera mengambilnya saja dan membebaskanku dari semua penyiksaan ini?!"

Umpatan pelan lolos dibarengi dengan suara kaleng terpental yang dihasilkan oleh tendangan kecil Joeun. Gadis itu mengusap kasar pipinya yang dialiri airmata, kendati hal tersebut tampak sia-sia lantaran mata mungilnya tak sanggup membendung luapan yang terlanjur menganaksungai. Ia berjalan gontai, menyusuri trotoar dingin pun mendapat tatapan dari orang-orang tak kalah dingin. Bibir mereka kadang mengeluarkan cibiran―yang beberapa bahkan sempat terdengar telinga Joeun dengan jelas.

Namun, gadis itu tak cukup peduli. Joeun tetap berjalan seolah yang di sekitarnya saat ini hanyalah seonggok benda mati yang memadati jalan. Tidak berarti apa-apa untuknya. Ia sudah banyak mendapat cibiran semacam itu, bahkan menurutnya ini hanya sebagian kecil dari semua hal buruk yang pernah didengarnya selama hidup. Joeun sudah pernah dengar seseorang mengutuknya untuk pergi ke neraka, ia tidak terkejut lagi, karena hidup memang seharusnya berjalan seperti ini. Pahit dan mengerikan untuk sebagian orang―seperti dirinya.

Joeun pernah diajari untuk saling menolong, memberi ke sesama, tapi semua pembelajaran tersebut menjadi tidak ada artinya. Terlebih, usai ia menyadari bahwa kehidupannya tidak layak untuk melakukan semua hal tersebut. Jangankan untuk saling menolong, gadis itu bahkan tidak diberi kesempatan orang-orang untuk sekadar berjalan dengan tenang di sekitar rumah. Lemparan telur busuk, lumpur, bahkan tahi binatang pernah mengenai beberapa sisi tubuhnya disertai sumpah serapah, "Dasar anak pembunuh! Semoga kau membusuk seperti ayahmu dan mati dengan mengenaskan!" atau suara para pemuda berandal yang terkadang mencegatnya, "Cantik, sih, sayang sekali jika harus mati sia-sia. Mau jadi jalangku saja, hm?" dan omongan lain yang tak kalah menyakitkan.

Untuk dua puluh tahun yang dilewatinya dengan segala doa terpanjat, "Semoga seseorang yang dulu pernah menyebut dirinya sebagai ayahku, dia segera mati di dalam penjara" tampaknya tidak cukup menguras tenaga dan pikiran Joeun. Setelah semua hukuman sosial itu berlalu begitu lambat baginya, Joeun harus dihadapkan dengan satu kenyataan lain yang tak kalah mengerikan. Ayahnya dibebaskan dari penjara, namun dalam keadaan yang kurang baik. Pria itu mengalami kecelakaan sehari setelah bebas dan harus dirawat di rumah sakit. Terhitung sudah tiga puluh satu minggu, Joeun harus menanggung biaya hidupnya serta biaya rumah sakit yang semakin mencekik.

Lantas hari ini, dokter menghubunginya. Mengatakan bahwa ayahnya dalam masa kritis, jadi ia diminta segera datang ke rumah sakit. Sepanjang jalan, Joeun tak hentinya berdoa agar malaikat maut mencabut saja nyawa ayahnya supaya bebannya bisa sedikit berkurang. Tetapi, Tuhan seolah bermusuh dengannya.

Beberapa jam yang lalu, dokter ke luar dari ICU dengan wajah lega luar biasa. Ia berkata, "Ayahmu sudah melewati masa kritis. Sekarang dia sudah kembali stabil. Tapi, dia belum sadarkan diri."

Saat itu, Joeun hanya sanggup meringkuk di kursi tunggu sembari menangis tersedu-sedu. Beberapa perawat berusaha menenangkannya, mengatakan bahwa semuanya akan segera membaik dan ia tidak perlu khawatir. Tapi Joeun justru menangis semakin keras. Bukan turut lega atas berita baik yang diterima dari Sang Ayah, Joeun menangis karena marah.

Kaleng sisa bir yang ditenggaknya menit-menit lalu kembali terpental agak jauh―menimbulkan bunyi kelontang yang cukup keras dan membuat orang-orang di sekitarnya menyumpah lagi. Joeun meringkuk; menekuk lutut dan memeluk kakinya sembari terisak di tepi trotoar. Gadis itu benar-benar lelah dengan segala drama yang terjadi hari ini. Tak memberi ruang untuknya sedikit bernapas dengan benar, ponsel pada saku mantelnya pun turut bergetar.

Mencoba sekuat mungkin untuk mengabaikannya, Joeun justru dibuat mengumpat kencang saat merasa ponselnya masih bergetar, berhenti sejenak dan terus bergetar lagi, meminta si pemilik untuk segera mengambilnya. Dengan perasaan kacau, gadis itu akhirnya meraih benda pipih tersebut dalam saku mantel. Melihat nama si pemanggil dan mendadak terkesiap bukan main. Ia menggeser perintah berwarna hijau terang dengan tangan gemetar. Joeun yakin akan mati setelah ini.

[M] Locked InWhere stories live. Discover now