Part 23. In Between

633 68 25
                                    

"Aku tidak tahu jika kalian sudah ... sedekat itu."

Kelsi membuka pembicaraan dengan hati-hati sembari menyiapkan beberapa camilan yang diambilnya dari kabinet di dapur apartemen Jimin. Gadis itu ditemani si empunya; yang tengah berdiri canggung dengan sesekali tampak berkeringat ketika Kelsi bertanya mengenai beberapa hal. Bukan sesuatu yang krusial, tapi si lelaki langsung gugup seolah ia takut jika sampai salah bicara.

Jimin jelas sangat menghindari pembicaraan ini, terlihat dari wajahnya yang mendadak tegang dan tidak nyaman. Ia mungkin sangat berengsek bagi sebagian orang, namun nyalinya mendadak ciut hanya karena ia ketahuan bermain di belakang perempuan yang hendak dinikahinya.

Meski sesungguhnya, ia hanya tidak tahu bagaimana menjelaskan tanpa menyakiti kedua belah pihak. Ia adalah si berengsek itu yang tetap ingin bersama keduanya kendati kini ia tahu, Lila benar-benar tidak nyaman duduk sendirian di ruang tamunya.

"Diam tandanya kau mengiakan." Kelsi kembali berujar cuai, seakan-akan ia tak peduli dengan kedekatan mereka. Tetapi, siapa yang akan tahu isi hatinya?

Si lelaki berdeham singkat. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi, ya, kami memang dekat," balas Jimin pada empat sekon setelah Kelsi menutup kalimatnya. Ia melirik si gadis, mencuri tahu bagaimana responsnya, tapi Kelsi tak menjawab apa-apa dan melenggang pergi begitu saja.

Marahkah?

Namun tak berapa lama, Jimin mendengar gelak tawa Kelsi membaur dengan suara milik Lila di ruang tamu apartemennya. Bagaimana ia bisa menilai si Nona Song itu jika sikapnya bahkan tidak transparan sama sekali? Apa ia marah? Apa ia kesal? Apa ia biasa saja? Apa ia tidak peduli?

Ini benar-benar misteri yang selalu Jimin pertanyakan dalam benak; mengapa perempuan itu sulit sekali dimengerti?

Berderap dengan canggung, Jimin lantas meletakkan beberapa buah gelas sampanye ke atas meja ruang tamu―yang sontak menghentikan suara-suara bising yang sebelumnya berdengung memenuhi sepenjuru ruangan. Lelaki itu membagi pandang ke arah keduanya; menemukan raut wajah kesal yang bercampur perasaan entah apa saja di wajah Lila; sementara Kelsi hanya berekspresi datar ketika mereka bertatapan.

Tsk, lebih mudah mengerjakan soal Matematika bagi Jimin, daripada harus menebak apa yang sebenarnya gadis-gadis ini pikirkan dan rasakan saat ini. Itu hanya akan membuat otaknya makin melintir, pusing!

"Sebenarnya, kau tidak boleh minum ini meskipun kau yang membawanya kemari, Kels." Jimin bersuara, memecah hening sekaligus membuang atmosfer aneh yang makin merebak di antara mereka.

Kelsi memicing, kali ini Jimin tahu bahwa gadis itu tidak suka dengan perkataannya. Ia tidak suka diatur-atur dengan atau oleh siapa pun; termasuk Jimin yang secara harafiah merupakan calon suaminya.

"Aku tidak akan mabuk," balasnya congkak.

Jimin mendecak. "Oh ya? Semoga saja kau tidak mengeong lagi saat kebanyakan minum."

"Apa aku melakukannya?" tanya Kelsi, matanya lekas membelalak tidak percaya.

Jimin mengendikkan bahunya, segaris senyum asimetris terlukis pada bibirnya. Ia tentu saja tidak pernah melihat Kelsi seperti itu. Terakhir kali saat gadis itu mabuk, ia cuma menangis lalu tertidur pulas. Hanya saja demi menjaga kandungannya, Jimin perlu membohonginya sesekali. Terbukti kala gadis itu langsung beringsut pergi ke dapur, lantas kembali dengan membawa sekotak jus buah.

Namun pada jeda itu, Jimin menyempatkan diri menatap Lila dengan sendu. Ia berucap 'maaf' dengan sangat pelan. Jemarinya berusaha menggapai milik Lila, tapi gadis itu dengan cepat meraih gelas sampanyenya dan menuangkan minuman beralkohol itu ke dalam gelasnya.

[M] Locked InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang