Part 22. A Brand New Day

637 79 6
                                    

Hari baru, dan mendadak semua hal menjadi canggung bagi Jimin. Hubungannya dengan Lila masih berlanjut, sementara persiapan pernikahannya sudah menginjak enam puluh persen. Tidak masalah dengan itu, pemuda tersebut hanya merasa kosong ketika ia tiba di gedung Under Pride seorang diri. Ada banyak hal yang berubah dari terakhir kali ia datang kemari. Hari itu, Taehyung masih bersamanya, membantunya, memarahinya, dan tertawa bersamanya. Namun sekarang, suara tawa si gila itu sudah tak bisa lagi didengarnya.

Jimin menengadah usai menutup pintu mobilnya; menebar pandang ke sepenjuru langit malam yang gelap gulita. Apa Kim Taehyung bahagia di sana? Jimin ingin sekali tahu kabarnya. Bagaimana rasanya di atas sana? Menyenangkan atau menakutkan? Oh, tapi bagaimana pun, si Kim jelas tak akan pernah ketakutan dengan segala yang terjadi. Ia kelewat pemberani, sampai-sampai dengan sukarela dan demi melindungi gadis favoritnya, ia menyerahkan nyawanya sendiri. Kenapa, sih, dia harus jadi budak cinta begitu? Tsk.

Sebetulnya, Jimin tak betul-betul sendiri. Sanghyuk sudah datang lebih dulu sebelum dirinya. Sungwoon juga hadir hari ini, meskipun tak ada jadwal pertandingan. Dan mendadak, ia jadi merindukan Kang Daniel; musuh bebuyutannya baik di Under Pride maupun di kehidupan nyata. Semua hal tentang Under Pride akan sangat ia rindukan setelah ini. Babak di mana ia dapat menemukan teman, musuh, penggemar, cinta, dan saudarinya sendiri, Park Joeun, akan segera berakhir.

"Jimin, di sini!" Sanghyuk berteriak dari ambang pintu masuk khusus staf. Cengiran lebarnya dibalas senyum pias dari sosok yang baru dipanggilnya.

Jimin segera menyudahi kegiatan memandang langitnya dan berlari mendekat. Menenteng sabuk kejuaraannya dengan bangga, pemuda itu lantas mendapat tepukan bersahabat dari teman sekaligus managernya yang baru―oh, yang mungkin hanya akan berkerja dalam beberapa jam ke depan saja.

"Semuanya sudah siap?" Jimin bertanya selagi keduanya berjalan memasuki gedung secara beriringan.

"Aku tidak pernah siap," balas Sanghyuk, menghela napasnya berat.

"Oh, ayolah, aku tidak akan kemana-mana."

"Kau akan jarang pergi ke gym."

"Oh ya? Kurasa justru akan lebih sering." Jimin tersenyum timpang, memunculkan kerutan di kening Sanghyuk.

"Maksudmu?"

Jimin tak segera menjawab, ia hanya tersenyum makin lebar sembari menepuk bahu temannya tersebut. "Nanti dengarkan pengumumanku baik-baik, oke?"

Dengusan pelan yang Sanghyuk berikan mengakhiri pembicaraan mereka. Keduanya tak lama tiba di ruang tunggu dan segera dihadiahi pelukan oleh Sungwoon diiringi tangisan palsunya. Tsk, masih saja sok dramatis.

"Aku tidak menyangka akan secepat ini." Sungwoon melanjutkan terisak-isak dan menyedot ingus buatannya. "Aku akan sangat merindukanmu."

"Diam!" Jimin beringsut mundur, mendecak seraya mematut tatap seram kepada teman sekaligus rivalnya tersebut. "Ayo bilang saja kalau kau bahagia dengan keputusanku ini, jadi setelah ini namamu yang akan berada di champions secara terus-menerus."

Sungwoon tertawa, lantas meninju bahu Jimin dengan tangan kirinya. "Kenapa tidak dari dulu saja, sih?"

"Lihat? Tsk."

"Tidak, tidak, aku hanya bercanda," timpal Sungwoon cepat. "Aku sungguh-sungguh sedih kau harus meninggalkan oktagon secepat ini."

"Mungkin harusnya aku tak di sini sejak awal." Jimin mendesah berat. Benar, jika sejak awal ia tak memaksa menjadi petarung, mungkin ia tak perlu kehilangan semua orang; tak perlu ada yang mengorbankan nyawanya hanya karena adu tensi yang sengit antara dirinya dan Daniel. Ini semua tak perlu terjadi.

[M] Locked InWhere stories live. Discover now