DUA

55.8K 1.8K 211
                                    

Namun betapa jahatnya pria itu. Setelah ia menarik pelatuk pistol dan membunuh Almer dengan senjatanya, ia tersenyum puas. Bukannya menyuruh anak buahnya untuk melepas Irina, dia malah meminta agar jasad Almer dibawa pergi.

Irina, masih terkapar di lantai, melihat tubuh kakaknya diseret oleh dua orang suruhan pria itu. Air mata Irina terus mengalir. Dia masih tidak percaya kakak yang selama ini melindunginya dibunuh dengan keji oleh....

Siapa pria ini? Irina tidak tahu! Persetan dengan identitas pria ini. Irina berjanji, jika ia selamat dari keadaan ini, ia akan membalaskan dendamnya. Ia akan membunuh pria itu sama kejinya dengan apa yang dilakukannya terhadap Almer.

Pria itu mendekatinya, jongkok di hadapannya. "Well, Sweetheart, tidak sulit bagi saya membunuh kau." Dengan telunjuknya pria itu membelai pipi Irina yang dibasahi peluh. Ditariknya telunjuknya, lalu dijilatinya telunjuknya. "Keringatmu saja nikmat, Sayang. Ini belum saatnya saya membunuh kau."

"Apa yang kau inginkan? Kau sudah mengambil segalanya dariku," isak Irina dengan keadaan hati gusar.

"Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, Sayang," bisik pria itu. Pria itu kemudian berdiri dan meminta anak buahnya untuk membawa Irina. "Tutup matanya. Jangan sampai dia tahu di mana keberadaannya nanti."

***

Lain dengan kakaknya yang sudah biasa dengan kekerasan, sebaliknya Irina orang yang sangat jauh dari hal itu. Sejak orangtua mereka meninggal saat Irina berusia lima, Almer yang sepuluh tahun lebih tua menjaga adiknya dari segala marabahaya.

Almer tidak pernah membiarkannya meninggalkan rumah. Untuk urusan sekolah Almer mengirimkan guru ke rumah. Bahkan untuk meraih gelar sarjananya, Irina mengambil kelas online yang tidak mengharuskannya keluar dari istana kakaknya. Kakaknya selalu menekankan semua orang di luar sana jahat.

Pernah suatu kali Irina bertanya mengapa kakaknya membiarkannya menimba ilmu jika Irina tidak pernah mengamalkan ilmunya, dan Almer saat itu menjawab,

"Tidak ada yang tahu nasib orang, Irina. Hari ini bisnis keluarga kita lancar. Tapi bisa saja kan... Hal yang tidak diharapkan terjadi. Dan kau harus berdiri di kakimu sendiri."

"Mengapa Kakak tidak pernah mengizinkan Irina untuk bekerja dengan Kakak?"

"Pekerjaan ini berat, Irina." Kakaknya menghela napas panjang. "Itulah alasan mengapa Kakak tidak pernah mengajarkanmu teknik bela diri. Kakak juga tidak membawamu ke tempat latihan tembak. Karena..." Kakaknya memandangya lama. "Kakak berharap suatu hari nanti kau akan menjalani hidup yang normal."

"Kapan itu, Kak?"

"Saat Kakak mati."

Pembicaraan itu terjadi satu minggu lalu. Saat itu Irina tidak tahu bahwa rumah besar kakaknya akan dihancurkan dalam semalam. Sebelum matanya ditutup oleh kain hitam, laki-laki yang membunuh kakaknya menarik lengannya keluar garasi menuju taman rumah bagian depan.

Dan tangisan Irina semakin deras.

Rumah itu perlahan dimakan api yang menjalar. Rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama delapan belas tahun terakhir itu... berakhir seperti ini. Banyak kenangannya bersama Almer di rumah itu.

Irina melihat sekelilingnya. Puluhan orang tak dikenalnya terus menjatuhkan korek api ke rumah yang sudah diminyaki. Beberapa di antara mereka juga melempar mercon. Ya Tuhan. Apakah semua orang sudah mati di dalam rumah itu? Tiga belas pelayan, delapan sopir, dua tukang kebun dan puluhan anak buah Almer... Apakah mereka sudah mati?

Jika betul, mengapa ia masih hidup?

Tidak sempat Irina berpikir lebih jauh lagi. Matanya dililit kain hitam hingga ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Tubuhnya didorong ke dalam sebuah mobil. Dari cara bagaimana mereka memasukkannya, Irina dapat menebak mobil itu mobil sedan.

"Jadi, Sayang, kau tidak akan tahu di mana tempat tinggalmu nanti," bisik pria di dekatnya. Deru napas pria itu menyentuh pipinya maka dapat disimpulkan pria itu duduk di sebelahnya. "Tidak akan ada bedanya dengan hidupmu yang lama, kan? Almer tidak pernah membiarkanmu keluar dari rumahnya. Sama seperti tempatku nanti. Kau tidak akan bisa pergi dari sana."

"Mengapa kau tidak membiarkan saya mati saja?"

"Kau tidak tahu kenapa?" Suara pria itu terdengar heran. "Kau betul-betul tidak tahu kenapa?"

"Tidak," desis Irina tanpa merasa takut sama sekali.

"Well, Sayang. Tidak semua masalah selesai dengan cara membunuh. Kadang nyawa saja belum cukup."

Irina merasakan sentuhan di pahanya. Saat itu ia masih mengenakan gaun tidur. Ia terpekik ketika sentuhan itu menjalar ke area sensitif di tubuhnya.

"Jangan.... Jangan..." pinta Irina panik. "Saya akan lakukan apa saja tapi jangan sentuh saya. Berapa uang yang kau mau? Sebutkan!"

"Kau tidak punya apa-apa, Sayang," kata pria itu. "Baik. Kali ini saya membiarkanmu lolos. Saya juga tidak mau melakukannya di mobil." Jeda. "Tapi nanti, begitu kita sampai, kau harus persiapkan dirimu untuk melayani saya."

"Tidak akan pernah!"

Plak!

Obsesi sang MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang