DUA PULUH DELAPAN

13.8K 600 43
                                    

"Sweetheart, not today," jawab Calvi, tersenyum tidak tulus. Dia bangkit dari posisinya dan mendekati kamar mandi. "Tolong pesankan breakfast untukku."

Ternyata perempuan itu tidak sepintar dan selicik yang kukira, pikir Calvi. Aku kira dia sudah tahu perangai abangnya. Bahkan kupikir, dia bagian dari rencana abangnya sendiri. Ya ampun. Ternyata dia sendiri, ditipu oleh abangnya! Apakah dia benar-benar tidak tahu bahwa abangnya sudah berbahagia di Jepang dengan identitas barunya?

Satu bulan sebelum ia menyerang rumah Almer, pria itu mandatanginya di Menara SB. Saat itu Almer memberi penawaran,

"Saya tahu kau sangat ingin membunuh saya saat ini, Calvi, setelah apa yang saya lakukan terhadap bisnismu," kata Almer. Tanpa diundang dia duduk di sofa ruang kerja Calvi. "Saya butuh bantuanmu."

"Harga saya membantumu tidak murah," jawab Calvi, duduk di sofa yang lain. Dia memang setengah mati membenci Almer dan ingin mematahkan lehernya saja saat itu. Tapi jika sudah tentang profit, dia bisa mengendalikan dirinya. "Apa itu?"

"Saya ingin punya kehidupan normal."

"Dan...?"

"Dengan kau, Moreno dan Pavel mengincar hidup saya, saya bisa mati kapan saja. Tapi saya tahu, di antara mereka, kaulah yang paling bisa diajak bernegosiasi. Katakan saja berapa, akan saya berikan agar saya bisa pergi dari hidup saya yang sekarang dan menjalani hidup yang baru."

"Saya paling benci lihat kastilmu yang tersembunyi itu. Bolehkah saya menghancurkannya?"

"Sure thing."

"Dan berikan saya semua asset propertimu."

"Semua surat-surat kepemilikan saya ada di brangkas bawah tanah rumah saya," kata Almer.

"Percuma jika tidak ada akta hibah."

"Semua yang saya miliki tercatat dengan nama adik saya. Kau bisa nikahi dia. Dengan begitu semua yang dimilikinya bisa jadi milikmu."

"Kau benar-benar sesuatu, Almer," kata Calvi, tertawa dingin. Dia pikir hanya dirinyalah yang tidak punya hati di dunia ini. Tapi rupanya ada yang sama jahatnya dengan dirinya. "Kau menjual adikmu pada saya agar kau bisa bebas dari orang-orang yang ingin membunuhmu."

"Saya tidak punya pilihan."

"Oke, saya akan buat seolah-olah ada serbuan besar di rumahmu. Moreno dan Pavel tidak akan begitu saja percaya kau mati. Harus ada bukti." Calvi memandang Almer sebentar. "Berikan satu ginjalmu pada saya. Akan saya tunjukkan pada mereka."

Di hari penyerbuan itu, Calvi dan orang-orang suruhannya menebar peluru, bahkan membakar rumah itu. Tapi Calvi memastikan tidak ada yang terluka baik Almer maupun adiknya. Begitu Almer melalui telepon memberitahu bahwa adiknya sudah aman di bawah tanah, Calvi masuk ke dalam dan menemui Almer di ruang tamu rumahnya.

Untuk pertama kalinya Calvi masuk ke kastil keluarga Guritnoko. Sayang sekali rumah ini harus lenyap, pikirnya. Aku manusia yang punya hasrat. Hasrat untuk menguasai bisnis kotor dan memiliki uang. Dengan ketiadaan Almer, jumlah para pemain bisnis akan berkurang. Dan itu artinya aku tidak perlu lagi khawatir ada kerdil yang menghalangi bisnisku.

"Tetap menembak dan membanting," kata Almer kepada semua anak buahnya. "Buat seakan-akan ada penyerangan." Dia menyambut Calvi yang berdiri di bawah lampu kristal besar. "Terima kasih, Calvi."

"Adikmu benar-benar tidak tahu bahwa ini rekayasa?"

"Hal ini cukup jadi rahasia antara saya dan kau saja."

Di belakang Calvi, berdiri seorang pria. "Ini Dokter Andi. Dia yang akan membedahmu, mengambil ginjalmu. Semoga kau bisa dibedah tanpa bius."

"I have no chance." Almer mengangkat bahu.

"Setelah itu kau bebas," kata Calvi tenang. Dia duduk di salah satu sofa kemudian menyilangkan kakinya. "Berapa lama orang biasa berperang? Satu jam? Dua jam? Semalaman? Make it two hours. In the meantime, why don't we just drink?" Salah satu anak buah Calvi membawakan satu botol wine padanya. "Bagaimana jika kita minum untuk merayakan kebebasanmu?"

Setelah menikmati wine-nya, melihat pemandangan rumah itu diobrak-abrik oleh orang-orang suruhannya dan Almer, mereka semua akhirnya turun ke bawah tanah. Almer menunjuk satu pintu ruangan di mana Irina bersembunyi.

Gadis itu tampak takut melihatnya.

"Kau wangi sekali," bisik Calvi di telinganya. "Kalau bukan adik Almer, kau pasti akan saya biarkan pergi." Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir Irina. Irina langsung meludah ke wajahnya dan menampar pria itu. "Very, very brave girl. Just like your damned brother." Calvi mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya. Irina menjauhinya namun lengannya dicekal sangat keras sampai akhirnya Calvi menempelkan sarung tangannya di mulut Irina. "Sleep, baby, sleep. Sssshhh." Setelah dilihatnya Irina tak sadarkan diri, Calvi keluar dan kembali menikmati wine-nya. Dua jam terlewati, barulah ia meminta anak buahnya untuk membawa Irina ke garasi.

Di sanalah Calvi menipu Irina. Dia pura-pura menembak Almer. Padahal saat itu, tidak ada peluru dalam pistolnya. Pada saat itu pula anak buahnya menembak di tempat lain sehingga seakan-akan suara itu berasal dari pistol Calvi. Dan pada saat itu pula Almer dengan aktingnya yang luar biasa pura-pura mati. Kepalanya terjatuh ke arah yang berlawanan dari pandangan Irina hingga Irina tidak tahu pasti apakah ada darah yang keluar di sana.

Jawabannya, tentu tidak.

Kembali ke masa sekarang, Calvi masih tidak memercayai bahwa Irina betul-betul tidak tahu skenario Almer. Selama ini ada bagian diri Calvi yang mengira, bahwa Irina bersikap polos untuk menipunya. Seperti abangnya yang memanfaatkan kebaikannya. Setelah Almer dibebaskan dan mendapatkan identitas barunya, Calvi kehilangan jejaknya sama sekali. Dia bahkan tidak tahu apakah Almer masih hidup atau tidak. Orang itu hilang begitu saja. Dan insting Calvi mengatakan, orang itu masih di luar sana, mengincarnya dan berusaha menjatuhkannya.

Dia bisa saja memasukkan Irina ke dalam hidupku untuk memantauku, desis Calvi. Tapi mengapa ada bagian diriku yang tidak setuju dengan kecurigaan itu?

Obsesi sang MafiaWhere stories live. Discover now