DUA PULUH TUJUH

7.5K 288 17
                                    

Selama di perjalanan Irina tidak tahu ke mana mobil ini membawanya. "Ke Singapura. Pak Calvi ingin Anda melahirkan anak Anda di sana," Marko memberitahunya saat mereka sampai di bandara. Asisten Calvi tidak hanya mengantarnya ke bandara. Dia juga mengawal Irina sampai Irina duduk di dalam pesawat.

Ia ditempatkan di fist class. Seperti robot dia menurut saja duduk di sana. Maafkan aku, Calvi, katanya dalam hati. Aku memang membencimu. Namun, mengetahui kau mati tetap menimbulkan rasa bersalah di hatiku. Bagaimana pun, aku masih ingat kenapa kau menikahiku. Selain kau menyebalkan, kau pernah bilang,

"Pavel dan Moreno tidak akan menyakitimu begitu kau menjadi istri saya. Karena mereka tahu konsekuensinya jika seinci tubuhmu disentuh oleh mereka."

Kau melindungiku, Calvi.

Irina memejamkan matanya, membiarkan air matanya mengucur ke mukanya. Dia tidak memperhatikan sekelilingnya. Saat pesawat lepas landas, dia hanya merasakan sedih di hatinya.

"So, Ikram orang yang memerawanimu?"

Sontak Irina membuka matanya dan menoleh. Dia terkejut setengah mati melihat Calvi tengah tersenyum padanya. Bermimpikah dia?

"You're not dreaming, Irina," kata Calvi seakan dapat membaca pikirannya. Tangan pria itu menarik tangan Irina dan menggenggamnya. "I am still alive."

"How..." hanya itu yang keluar dari mulut Irina.

"Sebelum aku menjelaskan, aku minta maaf, dua anak buah Almer sudah mati." Calvi membawa tangannya ke bibirnya. Dikecupnya dengan hangat. "Dan mengapa aku suruh Marko bilang aku mati, aku hanya ingin mengujimu. Aku tidak tahu kau akan patah hati seperti ini."

"Siapa yang patah hati?" Irina menarik tangannya dengan kesal.

Calvi tetap tersenyum melihat kekesalannya. "Kita honeymoon ya sebelum kau hamil besar. Aku akan memuaskanmu dan aku bisa pastikan, setelah itu kau akan melupakan pria-pria yang pernah menidurimu."

"Hanya Ikram," jawab Irina tegas.

"Ya whatever."

**

Apakah mungkin dua orang dengan keperibadian yang sungguh berbeda dapat bersatu, pikir Irina saat ia terjaga dari tidurnya yang singkat. Dia tak bisa tidur setelah pergulatan sengit dengan Calvi di ranjang nan besar itu. Diperhatikannya Calvi yang tengah merenggangkan tubuhnya. Aku tidak pernah bermimpi bisa hidup bersama orang yang membenci keluargaku-begitu pun keluargaku terhadapnya. Jujur saja, aku tidak membenci Calvi. Aku tidak kenal dia. Bahkan sekarang malu, perasaan terlarang itu mulai tumbuh di hatiku. O, Tuhan. Apakah aku berkhianat pada keluargaku dengan menyukai orang yang telah membunuh keluargaku?

Dilihatnya Calvi membuka matanya. Mereka berdua saling berhadapan di atas tempat tidur, dengan kaki yang saling bertaut satu sama lain, dan tangan Calvi yang tak lepas dari tangan Irina.

"So what do you like better? Vanilla or chocolate?" Tanpa busana, Calvi turun dari tempat tidur dan mendekati kulkas. Didengarnya bisikan parau istrinya mengucap "Vanilla.". Calvi tersenyum, membuka pintu kulkas, dan meraih kotak besar es krim rasa vanilla. Ia membalikkan tubuhnya, melihat istrinya terkapar lemah di balik selimut.

Lemah karena terlalu banyak bercinta semalaman.

Calvi tidak ingat kapan terakhir dia menghabiskan lima jam dalam hidupnya untuk memuaskan perempuan. Dia pemain lama, tapi untuk berdedikasi untuk membuat perempuan bahagia, bukanlah hal yang biasa untuknya. Dia mencium, memagut, meremas, meresapi, dan mencumbu dengan menggebu-gebu hingga hanya namanya yang menggema di luxury room itu. Ya, Calvi membuat Irina meneriakkan namanya semalaman.

Hell, what's wrong with me, pikir Calvi sambil berjalan ke istrinya.

"When you had sex with Ikram, was it good? Or just regular sex?" Calvi bertanya penasaran.

"Terjadi sangat cepat," jawab Irina tenang. "Why? Do you want to kill me?"

"Nah, not really. I killed too many people already," sahut Calvi lebih tenang dari istrinya. Disodorkannya kotak es krim. "Here."

"Sendoknya?"

"This is how you eat ice cream, Irina." Calvi membuka kotak es krim itu. Telunjuknya masuk ke dalam kotak, meliuk di dalamnya hingga es krim menempel di telunjuknya. Dibawanya telunjuknya ke mulut Irina. "Here. Eat it."

Mengulum mulut pria itu? Irina tampak jengah diperlakukan begitu. Dia belum pernah melakukannya dengan siapa pun. Tapi apa peduli apa. Dia pun tidak perawan saat menikah dengan Calvi. Masa memakan es krim dari jari pria itu, ia tidak mampu?

Perlahan, mulutnya mendekati telunjuk pria itu. Diemutnya dengan gerakan halus, sampai didengarnya Calvi melenguh. Setelah es krim itu tak tersisa di jari pria itu, Irina melihat wajah pria itu.

"Tidak heran Almer ingin menjualmu."

"Selain pembunuh, kau juga tukang nyinyir, ya?" dengus Irina.

"I feel sorry for you. This is weird. I normally don't feel sorry for anyone," sahut Calvi. "Yang menjadi keherananku, mengapa kau betah di rumah Almer? Kau bisa cari laki-laki kaya dan menikah dengan mereka. Aku rasa Almer tidak se-strict itu padamu. Buktinya, dia membiarkanmu keluar untuk dinikmati pria."

"Are we getting close now? If we are, I can talk honest with you."

"Once again, this is weird. Aku biasa menggunakan wanita untuk seks, tidak tahu bagaimana caranya bicara secara personal begini," kata Calvi, benar-benar terlihat canggung.

"It's okay. Jujur saja aku tidak biasa juga bersama laki-laki. Itulah sebabnya aku lebih suka di rumah Kak Almer daripada di luar."

"Dan Ikram? Aku masih tidak percaya bajingan itu pernah menyentuhmu," sahut Calvi dengan rahang yang mengeras.

"Bukan hanya menyentuhku. Pria itu sering meminta perempuan dari Kak Almer."

"Dan juga dariku," sambung Calvi datar.

"Saat itu Kak Almer didesak keadaan. Aku tidak mengerti bisnis, tapi aku bisa mengerti nasibnya saat itu bergantung sekali pada Ikram Karjadi. Kejadiannya juga sudah lama. Dan setelah kejadian itu, Kak Almer tidak membicarakan hal semacam itu lagi padaku. Dia tidak menjualku lagi. Dia pasti merasa bersalah."

"Ah." Calvi berdecak. "Aku rasa Almer tidak sebaik itu."

"Kenapa?"

"Almer tidak terlalu berbeda denganku."

"I know."

"I am serious. Apakah kau tahu bahwa kakakmu punya anak di Jepang?"

Irina tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, dari mana Calvi tahu bahwa Kak Almer punya anak? Hal itu sudah menjadi rahasia yang disimpan rapat-rapat antara Almer dengannya. Tidak mungkin orang sekaliber seperti Calvi mampu memperoleh informasi itu.

"What do you mean?" Irina pura-pura bingung.

"Kau tahu," jawab Calvi dingin. "Itulah mengapa kau bersikeras menipuku, Irina, agar kau bisa pergi dariku dan menemui anak itu."

"Dan kau menyalahkanku karena aku ingin menjaga keponakanku?"

"Aku menyalahkanmu karena kau terlalu bodoh," kata Calvi mencemooh. "Well, aku pergi. Selain untuk honeymoon, kedatanganku ke sini tak jauh-jauh dari urusan bisnis."

"Jelaskan dulu mengapa kau bilang aku bodoh."

Obsesi sang MafiaWhere stories live. Discover now