DUA PULUH SATU

22.6K 910 92
                                    

Tamu yang datang ramah padanya. Mereka menyalaminya, memberikannya selamat, dan mendoakannya agar pernikahannya langgeng. Pernikahan itu jauh di luar Irina. Sebelumnya ia mengira pernikahan itu akan buruk mengingat sikap Calvi yang sedingin es padanya. Sebaliknya, pernikahan itu penuh tawa dan kegembiraan. Setelah akad dan salam-salaman dengan tamu, sebuah band menyanyikan lagu Fly Me To The Moon-nya Frank Sinatra.

Tak ada satu pun orang yang Irina kenal sebagai sahabat di dunia ini. Jadi walaupun banyak tamu yang datang silih berganti, senyap itu tetap dirasakannya. Namun dia bersyukur ketika salah satu tamunya, menghampirinya saat Calvi asyik diskusi dengan kawan-kawan prianya.

"You look terrible."

Wajah Irina sudah didempul riasan yang tebal. Tidak mungkin ada satu pun orang dapat melihat kesedihannya.

"Saya tidak mengerti."

"Namaku Abel, istri Moreno Danishwara. Aku tahu banyak tentangmu. Moreno sering membicarakan kakakmu."

"Apa lagi yang kau ketahui?" tanya Irina dengan suara kecil.

"Aku tahu suamiku, dan aku juga tahu bagaimana teman-temannya," kata Abel, melirik sekilas pada kumpulan laki-laki yang berkumpul di ujung ruangan sana. "They're bunch of assholes."

"Maaf?"

"Calvi is the worst," kata Abel melanjutkan. "Kapan pun kau butuh bantuan, telepon saja aku. Nomorku ada di phonebook, kok."

"Thank you, it means so much to me," bisik Irina dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

Dia memang belum mengenal Abel itu. Perempuan mungil itu kelihatannya bernasib tak jauh berbeda dengan Irina. Selama pesta berjalan, Irina memperhatikan Abel yang terlihat risih di pesta itu. Apakah Abel dipaksa nikah seperti Irina? Jika ada kesempatan Irina ingin mengenal Abel lebih jauh. Barangkali mereka bisa berbagi penderitaan mereka masing-masing.

Irina tidak dibesarkan dengan kasih sayang orangtua. Tetapi dia sering membaca buku, dan tak sedikit yang dibacanya terkait rumah tangga. Tidak baik bagi seorang istri menjatuhkan nama suaminya di depan orang lain, begitu pesan dari salah satu buku yang dibacanya. Sekali pun suaminya brengsek macam Calvi, tetap dia tidak bisa melakukannya, karena aib suaminya merupakan aibnya juga sekarang.

Fakta bahwa ia tidak bisa menceritakan penderitaan yang dialaminya sejak mengenal Calvi membuat Irina sedih. Sebelum mengenal Calvi dia tidak punya masalah dengan tidak mengeluarkan isi pikirannya. Namun sekarang, ada rasa kebutuhan untuk mencurahkan sakit hatinya ke orang lain dengan tujuan mengurangi beban pikiran dan hatinya.

Pesta pernikahan itu berakhir kurang-lebih pukul tiga sore. Penthouse itu menjadi sepi dan menyisakan keduanya di aula bekas pesta. Dengan wine di tangannya Calvi menghampiri Irina yang duduk di salah satu kursi dekat meja makan.

Keduanya sama-sama lelah berinteraksi dengan tamu-tamu yang datang.

"Aneh," pendapat Irina ketika Calvi duduk di sampingnya. "Mengapa kau mengundang orang-orang yang membenci Almer? Apakah kau sengaja agar mereka membunuhku?"

Pria itu malah tertawa mendengar tuduhannya. "Sweetheart, jika aku ingin kau mati, akulah yang membunuhmu. Bukan mereka."

"Lalu kenapa?"

"Mereka harus tahu jika mereka berurusan denganmu, mereka berurusan denganku juga. Selain itu aku sudah memberikan apa yang mereka mau supaya mereka tidak mengincarmu lagi."

"Apa yang kau berikan?"

"Ah, tidak penting," jawab Calvi santai. Ya, perkebunan ganja dan dua puluh persen saham SB Land diserahkannya secara cuma-cuma kepada Moreno Danishwara. Kepada Pavel juga ia berikan dua klub malam di Bali. "Tidak seberapa," tambahnya lagi.

"Terima kasih atas pestanya," kata Irina beberapa saat. "Apapun yang terjadi di antara kita, setelah apa yang kau lakukan pada keluargaku, aku tetap bersyukur kau mempersiapkan semua ini."

Pria itu mengangguk-angguk. "Anyway, apa yang dikatakan Asha Bella padamu?"

"Asha Bella?"

"Abel, istri Moreno."

Irina menghela napas panjang. Ia tidak mengira Calvi akan memperhatikannya selama pesta. "Hanya mengucapkan selamat."

"I feel sorry for her. Kalau Moreno tidak memperistrinya, aku mau jadi suami Abel."

"What...." desis Irina bingung. Dia tahu Calvi bukan pria yang baik, tapi mengatakan dia menginginkan wanita lain di hari pernikahannya? Apakah pria ini tidak punya sisi baik walaupun secuil saja di dalam dirinya? Bukan Irina tertarik padanya-sama sekali tidak-tapi bagaimana pun dia kan baru saja dikawini oleh pria itu.

"Kau tahu apa yang Moreno lakukan untuk mendapatkan Abel?"

Irina menggeleng.

"Dia harus membunuh adiknya sendiri agar Abel bisa suka padanya," jawab Calvi. "That man is awesome."

Sekali lagi, what?

"Jangan iri begitu. Kau juga membunuh kakakku untuk mendapatkanku, bukan begitu?" tanya Irina tenang.

"Tidak juga, saya melakukannya karena dia berusaha menghancurkan bisnis saya, dan selain itu kau tidak terlalu menarik buat saya," sahut Calvi datar.

Untuk ketiga kalinya, what?

"So, what are we gonna do next?" tanya Irina mengalihkan topik.

"Kau akan tinggal di sini sementara waktu. Saya akan mengenalkanmu pada Kiara." Pria itu diam sejenak. "Sama seperti kakakmu, saya juga punya musuh. Rumah saya sudah tidak aman lagi."

"Siapa musuhmu?"

"Apa pedulimu?"

"Agar aku tidak perlu melihat orang dibunuh di hadapanku lagi."

"Kau pasti senang jika aku mati."

Calvi memandangnya, berharap melihat perempuan itu mengangguk dengan seuntai senyum, namun perempuan di sebelahnya justru memberikan tatapan khawatir padanya. Irina tampak tidak senang dengan ide kematiannya.

Ada apa?

"What? Kau ingin orang yang membunuh keluargamu masih tetap berkeliaran di dunia ini, Irina?"

"Saya hanya tidak suka ada orang mati," jawab perempuan itu terus terang. "Mungkin di pandanganmu kematian bukan hal yang besar, tapi tidak begitu bagiku."

"Kenapa?"

"Because, deep down inside of me, wants us to have future together, Calvi," sahut Irina menatap pria itu dengan sendu. "Kita memang tidak punya sejarah yang baik. Tapi kenapa harus tidak baik terus, Calvi? Apakah menurutmu hanya karena dalam tubuhku mengalir darah orang-orang yang kau benci, aku tidak berhak punya masa depan dan bahagia?"

"Irina..."

"No, I get it. Kau ingin membunuhku sebagaimana kau sudah merencanakannya. Aku hanya berharap, kau bisa mempertimbangkan untuk memiliki rumah tangga yang normal denganku."

Calvi meminum wine-nya dan menghabiskannya dalam 2 kali tegakan. "Well, I'll think about it. But I can't promise you anything." Pria itu berdiri dan pergi.

Sambil melihat Calvi yang berjalan menjauhinya, Irina menahan senyumnya. Aku akan membuatmu cinta padaku, tekad Irina dalam hati. Ini semua hanya permulaan. Setelah kau percaya padaku dan memberikan segalanya padaku, aku akan pergi. Namun sebelum aku pergi aku akan membunuhmu.

Ya Tuhan.

Apakah ini yang dipikirkan mendiang istrinya saat masih hidup dulu?

Kalau begitu aku harus memainkan lakon ini lebih pintar.

Obsesi sang MafiaWhere stories live. Discover now