GW 1

1K 78 24
                                    

"Berpapasan namun tak saling menyapa, itu lebih berat dibanding sekedar jarak antar kota"

Waktu masih menunjukkan pukul 4.30 pagi, membuat matahari enggan menampakkan diri. Membiarkan suasana malam yang penuh dengan kesunyian hilang dengan sendirinya.

Dering alarm yang nyaring memaksa seorang gadis terbangun dari mimpinya. Perlahan tapi pasti, ia membuka kelopak mata sembari mengumpulkan kesadarannya. Sementara tangannya ia gunakan untuk mematikan alarm yang berada di nakas tempat tidurnya.

Samar-samar gadis itu mendengar suara orang yang sedang berbincang diluar kamarnya. Ia merasa familiar dengan suara itu, suara seseorang yang sangat ia rindukan. Setelah merasa kesadarannya terkumpul, ia bangkit dari tempat tidurnya dan keluar menuruni anak tangga, untuk memastikan bahwa suara yang didengarnya benar-benar suara yang tengah ia rindukan.

Dan benar saja, suara familiar itu berasal dari sosok yang ia rindukan. Mereka adalah orangtua gadis itu yang baru pulang setelah sebulan yang lalu membatalkan kepulangannya, karena pekerjaannya yang semakin bertambah.

"Ayah"panggil gadis itu sembari menghampiri ayahnya yang tengah berbincang bersama ibunya.

"Hei kesini sayang" Ayah gadis itu menoleh, begitu dipanggil "Bagaimana Sekolahmu?" sambungnya. Lagi-lagi pertanyaan itu yang pertama kali dilontarkan oleh ayahnya.

Gadis itu tersenyum getir. "Baik, Yah. Kabar ayah gimana?"tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Ia kini sudah duduk disamping ibunya.

"Seperti yang kamu lihat, ayah baik-baik saja."jawab ayahnya sekenanya.

"Kalau Ibu, gimana kabarnya?" tanya gadis itu yang kini beralih melirik kearah ibunya.

"Ibu juga baik kok, sayang" Jawab ibunya seraya mengusap kepala anak gadisnya itu.

Dia, gadis itu bernama Sarah Zahira. Si rangking satu dan kutu buku. Ia tak begitu banyak mengetahui dunia luar seperti kebanyakan remaja pada umumnya. Sebab, hari-harinya hanya ia habiskan bersama buku-buku eksakta miliknya.

"Masih tau jalan pulang yah? aku kira ayah udah lupa."timpal Hilmi yang baru saja keluar dari kamarnya dengan sarkatis seraya membuka kulkas untuk mengambil air minum.

Pertanyaan Hilmi sontak membuat orangtuanya dan Sarah beralih menatap Hilmi.

"Jaga ucapan kamu Hilmi. Kamu semakin gede semakin kurang ajar, gak tau sopan santun." Ucap Ayahnya penuh penekanan.

"Jangan salahkan aku, kalau sikap aku kurang ajar kayak gini. Seharusnya Ayah tanya sama diri ayah sendiri, emang pernah ayah ngajarin aku sopan santun. Gak kan?" Jawab Hilmi tak mau kalah.

"Hilmi.. Kamu kenapa jadi kasar kayak gini sih" Sahut ibunya

"Udahlah, Ibu sama ayah sama aja, lebih baik gak usah pulang kerumah sekalian" Ucap Hilmi, membuat Ayahnya makin geram.

"Hilmi" Ucap ayahnya dengan suara yang tinggi seraya mengangkat tangannya yang hampir saja menampar Hilmi jika saja Sarah tidak mencegahnya.

"Yah, udah. Bang kamu kekamar sana" Pinta Sarah

"Tanpa lo suruh pun, gue pergi kok. Malas tau gak ngeliat orang-orang yang utamakan ego sendiri" Ucap Hilmi lalu melenggang pergi meninggalkan kedua orangtuanya dan Sarah.

Perempuan KahfiWhere stories live. Discover now