GW 20

263 14 0
                                    

"Kamu dan hujan memiliki persamaan; dingin dan sulit ditebak"

Raina duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang tampak kosong. Tidak ada bulan yang bersinar, bintangpun demikian. Sebab, awan hitam memenuhi langit. Rintikan air dari langit mulai berjatuhan, cuaca yang dingin mulai menusuk kulit Raina, yang hanya di balut oleh kaos oblong. Namun, gadis berlesung pipi itu tetap berada di balkon kamarnya, enggan masuk ke dalam. Matanya menatap rintikan air, yang jatuh semakin deras. Sementara pikirannya sibuk memikirkan kejadian tadi pagi.

"Rain?" panggilan Hilmi membuat Raina menoleh ke kaca spion, di sana terdapat wajah Hilmi yang juga menatapnya.

"Yah, kenapa?"

Hilmi terdiam sejenak, matanya menatap lekat wajah gadis yang terlihat begitu penasaran di kaca spion motornya,  ia lalu menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menetralkan detak jantungnya "Pacar lo gak marah? gue anterin lo"

Deg..

Pertanyaan Hilmi membuat Raina tersenyum kecil. Ia tahu maksud di balik pertanyaan itu, hanya sekedar ingin tau apakah dirinya sudah punya pacar atau belum. Trik laki-laki semacam itu, Raina sudah hapal di luar kepalanya. Namun Raina tidak mau berharap lebih, Pertanyaan Hilmi masih begitu abstrak. Bisa jadi, ia hanya ingin memastikan bahwa dirinya tidak mengganggu hubungan orang lain.

"Gue gak punya pacar" Hilmi mengangguk, lalu tangannya bergerak membelokkan motornya masuk ke dalam halaman fakultas Raina.

Raina turun dari motor, dengan tangan yang berpegang pada bahu milik Hilmi, setelah Hilmi mematikan mesin motornya. "Makasih, Hilmi" Raina tersenyum ramah sambil merapikan rambutnya yang agak berantakan, akibat helem yang ia pakai dan angin yang berhembus dari arah berlawanan.

"Oke" Hilmi mengaitkan helem pemberian Raina di jok motornya.

"Gue duluan yah" Raina berbalik badan dan hendak beranjak dari tempatnya. Namun, tangan kekar yang mencengkal tangannya membuatnya menghentikan langkah. Raina berbalik dan menatap Hilmi, "Kenapa?"

"I love you"

Raina terdiam, ia mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan oleh laki-laki di hadapannya barusan. Cuma tiga kata, namun reaksinya yang diterima tubuhnya sangat luar biasa. Seketika membuat tubuhnya kaku, jantungnya berdetak sangat cepat, mulutnya mendadak bisu, pupil matanya melebar.

Hilmi melepas cekalan tangannya, lalu tangannya bergerak mengusap puncak kepala Raina sekilas. "Gue gak minta jawaban lo sekarang, udah sana masuk"

Raina mengangguk, dengan tatapan mata terlihat begitu kosong, mulutnya masih kaku untuk bersuara. Ia  lalu berbalik badan dan berjalan gontai menuju ruangan kuliahnya. Sementara Hilmi tersenyum begitu lebar melihat reaksi dari gadisnya itu.

Ponsel Raina yang bergetar, membuatnya tersentak. Ada sebuah notif pesan dari nomor baru. Tangannya lalu bergerak mengetik password ponselnya, untuk membuka isi pesan tersebut.

Angin malam gak bagus untuk kesehatan. Apalagi sekarang hujan, lo bisa kedinginan. Masuk gih.

Alis Raina saling bertautan, heran, kenapa orang yang mengirimkannya pesan bisa tau kalau ia lagi ada di luar kamar. Matanya lalu beralih menatap ke gerbang rumahnya, namun tidak ada siapa-siapa disana. Hanya ada pak joko; satpam rumahnya yang lagi baca koran di pos.

Tangan Raina bergerak mengetik balasan. Ini siapa yah? Kok tau kalau gue lagi diluar.

Baru saja Raina mengirimkan balasan, tiba-tiba ponselnya sudah bergetar lagi.

Perempuan Kahfiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن