GW 23

515 29 13
                                    

"Ketika kehilangan, senja yang indahpun berubah menjadi sendu. Sebab perasaan begitu rapuh. Rapuh akan hal kehilangan"

Entah apa yang ada dipikiran Kai sekarang. Ia membiarkan seseorang dimasa lalu nya mengobati luka-luka lebamnya akibat musuh bebuyutannya, sekaligus mantan pacar gadis yang kini dengan telaten mengobatinya.

Saat tangan Feby hendak mengobati sudut mata Kai yang lebam, tangan Kai menghentikannya. Mata mereka bertemu beberapa detik, namun Kai buru-buru mengalihkannya dan melepaskan cekalan tangannya. Kai tidak bermaksud membuat Feby merasa diberi harapan. Mood Kai hanya sedang tidak baik, semenjak pagi tadi ditambah ia melihat Sarah pulang bersama seseorang yang kelihatannya begitu akrab.

"Kenapa?" tanya Feby, dengan sorot mata yang menatap Kai dengan lekat.

"Gue mau balik. Makasih untuk obatnya" Kai mengambil kunci motornya yang berada di meja dan beranjak dari tempatnya. Namun, Feby mencengkal tangan Kai. Membuat Kai terdiam di posisinya. Ia membiarkan Feby mengatakan sesuatu yang sedari tadi ingin ia utarakan.

"Gue pengen ngomong sama lo, Bentara doang kok" pinta Feby, dan dengan terpaksa Kai menurutinya. Kai mendudukkan kembali tubuhnya pada kursi yang berhadapan dengan Feby.

Feby menghembuskan nafasnya panjang, setelah Kai mendudukkan tubuhnya dan menatap kearahnya, "Seandainya Lo tersesat, dan Lo udah tau jalan pulang, apa Lo mau balik?" pertanyaan Feby membuat Kai mengerutkan keningnya. Menurutnya pertanyaan Feby sangat ambigu, ia tidak mengerti sama sekali.

"Gue gak ngerti"

Feby menarik nafasnya panjang, kemudian memejamkan matanya beberapa detik. Memberusahakan diri mengungkapkan semua bebannya. "Gue pacaran sama Bima itu cuman pengen liat kepedulian Lo sama gue. Bahkan gue rasa selama kita jalanin hubungan, cuma gue yang berjuang sementara lo gak peduli sama sekali. Dan Saat gue tau Bima pengen deketin gue, gue sangat happy saat itu, karena sebentar lagi misi gue bakalan berhasil. Tapi gue gak tau kalau lo bisa marah sebesar ini" Air mata Feby lolos begitu saja dari matanya, namun ia terus mengusapnya dengan cepat. Ia tidak mau dikasihani oleh seseorang yang sangat berarti baginya.

Kai yang mendengar itu, tidak terkejut sama sekali. Pasalnya sebelum ia bertemu dengan Feby, Rio sudah lebih dulu memberitahunya. Dan Perkataan Feby memang benar, dulu saat mereka menjalin hubungan Kai selalu menolak keinginan Feby hanya untuk sekedar menonton atau jalan-jalan ke mall. Dihari libur pun Kai selalu tidak bisa, karena ia harus latihan basket.

"Gue minta maaf, kalau dulu gue sering nyakitin lo" tangan Kai memegang bahu Feby, membuat Feby menatap Kai penuh tanya. Merasa Feby meminta penjelasannya, Kai tersenyum tipis sebelum berujar untuk memberi penjelasan "waktu itu gue emang mau balik, saat gue entah harus pergi kemana. Tapi sekarang sekalipun gue udah tau jalan pulang, gue gak bisa balik Bi, gue gak bisa ninggalin seseorang yang udah narik gue dari jurang saat gue tersesat"

Feby melepaskan tangan Kai yang memegang bahunya, air matanya kini ia biarkan membasahi pipinya, "Gue ngerti kok, tapi apa gak ada kesempatan buat gue di hati lo lagi?"

"Ada kok, tapi statusnya aja yang beda" Kai memberanikan diri mengusap air mata Feby dengan ibu jarinya, "Sahabat"

Feby tersenyum getir mendengarnya, kemudian ia menganggukkan kepalanya. Menurutnya menjadi sahabat saja itu sudah lebih dari cukup, asal ia bisa terus bersama dengan Kai. Dan Kai tidak membencinya lagi. "Sahabat" ucap Feby mengulangi perkataan Kai.

Setelah perasaan Feby lebih baik, Kai dan Feby beranjak dari taman kota. Dan Kai mengantarkannya pulang, selain hari sudah sore Kai hendak latihan basket di danau. Tempat latihan yang mampu meluapkan seluruh emosi Kai.

Emosi yang sedari tadi ia tahan, entah emosi yang disebabkan oleh Bima tadi atau emosi karena melihat Sarah bersama seseorang. Bahkan seseorang itu menjadi alasan Sarah untuk tertawa.

"Makasih Kai, atas tumpangannya" Feby tersenyum tulus sambil memberikan helem kepada Kai.

"Iyah, gue pulang dulu" Kai kemudian meninggalkan halaman rumah Feby dengan Feby yang terus menatap punggung Kai sampai hilang di balik pagar.

Sore hari ini kota Jakarta yang terkenal dengan polusi itu sangat macet, membuat Kai mendengus. "Sial" decaknya. Kai paling benci dengan kemacetan, sebab waktunya terbuang dengan percuma. Namun, ada yang aneh dengan penglihatan Kai. Ia melihat mobil ayahnya, dan di dalamnya terdapat seorang wanita. Yang membuatnya mengernyitkan dahi ialah, ibunya masih diluar kota. Lantas siapa sosok wanita itu.

Kai berusaha menyelinap dengan motor ninjanya, mendekati mobil ayahnya. Memastikan bahwa sosok wanita itu adalah ibunya. Sekali lagi Kai melihat keanehan di dalam mobil itu, wanita itu terlihat agresif sekali. Tidak seperti ibunya, yang dingin namun begitu penyayang. Wanita itu memegang pipi ayahnya kemudian menciumi punggung tangan ayahnya, sementara ayahnya hanya tersenyum geli sambil terus fokus menjalankan mobilnya dengan sangat pelan karena macet.

Kai berusaha lebih dekat lagi, untuk melihat wajah perempuan itu. Namun Kai terlambat, mobil ayahnya sudah melaju cepat, kemacetan telah usai.

Kai melupakan sejenak pikiran negatif tentang ayahnya. Motornya ia lajukan ke arah danau, tempat latihan basketnya seorang diri. Dan menurutnya ayahnya tidak mungkin menghianati ibunya. Kai sangat tau bahwa ayahnya begitu mencintai ibunya.

Setibanya Kai di danau, ia memarkirkan motornya tidak jauh dari lapangan basket mininya. Kemudian mengambil bola yang ia simpan di balik pohon besar. Kai mulai mendrible bola dan menshootnya ke dalam ring. Ia terus melakukannya beberapa kali hingga ia menghentikan permainannya ketika mendengar suara seseorang seperti tengah menangis.

Mata Kai menyusuri sekitar danau, dilihatnya seorang gadis yang menelungkup kan wajahnya di kedua tangannya. Dari postur tubuhnya, Kai tidak asing dengannya. Dengan langkah perlahan Kai mendekati gadis itu.

Gadis itu tidak menyadari kedatangan Kai, ia terus menangis. Kai hanya menatapnya dengan lekat, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung, apa yang ia harus lakukan. Ingin sekali ia memeluk gadis di hadapannya, mengelus punggungnya untuk menenangkannya. Namun, Kai tidak punyak hak untuk itu.

"Ra?" panggilan Kai membuat gadis itu mendongakkan kepalanya. Matanya sembab, hidungnya memerah.

"Kai" ucapnya dengan serak. Kemudian menyeka air matanya buru-buru.

Kai mendudukkan tubuhnya di samping Sarah. Yah gadis itu adalah Sarah, "Ada apa? Kok sampe nangis gitu?"

Sarah menggelengkan kepalanya pelan, "Gak papa"

"Cewek kalau bilang gak papa, pasti ada apa-apanya. Kalau emang belum siap buat cerita, gue siap kok nunggu Lo sampe mau cerita. Dan siap jadi pendengar Lo"

Sarah tertegun mendengarnya, matanya menatap Kai yang tengah memandang ke arah danau. sejak kapan Kai berbicara semanis itu. Membuatnya merasakan sesuatu yang aneh, jantungnya berdetak begitu cepat, atmosfer seakan berubah menjadi lebih menyejukkan hatinya.

"Makasih sebelumnya udah bersedia menjadi pendengar, tapi maaf aku belum bisa menceritakannya" Sarah menundukkan kepalanya. Kai beralih menatap ke arah Sarah "Gak masalah, gue akan tetap tunggu sampe lo mau berbagi cerita sama gue"

Kai kemudian melepas jaket yang belum sempat ia lepas, kemudian menyampirkannya pada pundak Sarah. "Anginnya kencang, entar Lo masuk angin"

Sarah melirik ke arah Kai yang juga meliriknya, "keluarin semua kesedihan Lo Ra, kalau malu sama gue. Gue bakalan pergi" Kai beranjak dari duduknya namun panggilan Sarah yang begitu pelan tapi masih dapat didengar oleh Kai membuat Kai mengurungkan langkahnya.

"Kai?"

Kai tidak menjawab panggilan Sarah, ia hanya menatapnya. Membiarkan Sarah melanjutkan perkataannya.

"Jangan pergi"

Deg..

'Apa-apaan ini, please jangan mainin perasaan gue' ucap Kai dalam hati. Ia masih terdiam di tempatnya, dua kata yang baru saja didengarnya seakan membuat dunianya berhenti. Berhenti dari pengharapan.

Terimakasih yang sudah mau baca cerita ini 😊


Perempuan KahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang