[vol. 1] 10. Enam Tahun Silam

8.7K 1.1K 20
                                    

Sebenarnya apa maunya cewek itu?

***

Sakura menempelkan selembar kertas yang tercetak jadwal mata kuliah yang Angkasa ambil semester ini. Kalau saja dari awal Sakura meminta bantuan Lola untuk hal ini, pasti kejadian memalukan seperti tadi tidak akan menimpanya. Karena ia tidak perlu lagi repot-repot melakukan kebohongan dengan berpura menjadi pegawai kampus, hanya demi mendapatkan jadwal kuliah Angkasa. Yang dalam semenit, kebohongan itu sudah terkuak oleh target yang disebabkan oleh kebodohannya sendiri yang lupa mengganti foto profilnya.

Sakura membaca detil jadwal itu. Lalu ia bandingkan sekaligus cocokkan dengan jadwalnya sendiri.

"Astaga!" Tiba-tiba Sakura mengumpat, sebal. Jarinya menunjuk salah satu hari. "Kenapa sih itu orang harus ada jadwal di hari Sabtu?!"

Pasalnya, hanya di hari itulah Sakura memiliki waktu libur kuliah selain di hari Minggu. Dan cuma di hari itu pula, Sakura bisa menggunakannya untuk bekerja penuh waktu di kedai roti Bu Mega, hingga ia bisa mendapatkan uang lembur untuk tambahan biaya membeli obat ibunya. Dan sepertinya, mulai Sabtu minggu ini, Sakura tidak bisa lagi menggunakan hari Sabtunya untuk menghasilkan uang tambahan. Toh, Lola akan menggantinya kalau ia sudah menyelesaikan misinya.

Prang!

Suara pecahan beling seketika berhasil mengalihkan fokus Sakura. Gadis itu segera berlari menuju kamar ibunya, yang menjadi sumber di mana suara itu berasal.

"Ibu?"

Dengan cepat Sakura menghampiri ibunya yang jatuh dari ranjang dengan serpihan gelas kaca pecah tidak jauh darinya. Sakura mengerahkan seluruh daya yang ia miliki untuk mengangkat tubuh Yuli kembali ke atas tempat tidur.

"Ibu mau ambil apa? Ibu mau minum? Biar Sakura ambilin, ya?"

Belum sampai putrinya bergegas, Yuli menggelengkan kepalanya. Pertanda bukan itu yang ia inginkan.

"Ibu mau apa?"

Sakura menunggu jawaban, namun ibunya terus membungkam. Hingga sesaat ia mengikuti arah pandangan mata ibunya yang sejak tadi hanya tertuju pada satu titik.

"Ibu mau Sakura ambilkan foto Ayah?"

Melihat ibunya mengangguk, lantas Sakura beranjak dari sisi tempat tidur untuk mengambil sebuah figura kecil yang memajang potret ayahnya di atas nakas. Lalu menyodorkan benda itu, yang kemudian langsung diterima oleh ibunya. Saat benda itu benar-benar berada di tangannya, seketika Yuli memandangi sosok suaminya dengan seksama. Detik demi detik, mata sayunya mulai berair. Air mata yang mengembang tak lama lolos membasahi pipinya setetes demi setetes.

"Ibu rindu, ya, sama Ayah?"

Pertanyaan Sakura terjawab, ketika beberapa saat berselang, Yuli memeluk erat figura itu dalam dekapannya. Menangis tanpa ada isakan yang terdengar dari rongga suaranya. Rasa sesak yang begitu dalam, yang dirasakan Yuli saat itu, terukir jelas dari guratan ekspresi di wajahnya. Sepasang mata Yuli yang tertutup rapat, tiada henti mengeluarkan air mata.

Sakura memerhatikan ibunya dalam diam. Tanpa ia sadari, setetes air mata jatuh bersamaan membasahi kedua sisi pipinya. Melihat apa yang dilihatnya sekarang, sungguh telah membuat Sakura kini semakin yakin, bahwa pelaku pembunuhan ayahnya bukanlah ibunya. Kejadian enam tahun yang silam...

Sirine mobil polisi terngiang nyaring malam itu. Membuat para orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Sakura berbondong-bondong keluar rumah untuk menuntaskan rasa keingintahuannya. Dengan sigap para polisi menjalankan tugasnya masing-masing. Sebagian ada yang bertugas untuk mengamankan area tempat kejadian perkara. Meminta mereka yang berkerumunan mendekat agar minggir dan menjauh. Sementara sebagian yang lainnya dengan cekatan menyergap rumah tempat kejadian perkara, berjaga-jaga agar pelaku tidak bisa melarikan diri.

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang