[vol. 1] 18. Harapan

7.8K 982 58
                                    

Aku menunggumu bukan karena aku ingin memilikimu. Aku menunggumu melainkan karena aku hanya ingin kamu setidaknya menyadari perasaanku.

***

Suara sendok besi dan piring beling yang saling berbenturan pagi itu terdengar mengisi ruang makan. Sementara Erik, Tania, dan putri satu-satunya mereka, Pita, asyik menyantap sepiring nasi goreng masing-masing, yang menjadi menu makan sarapan mereka pagi ini.

"Nanti pulang sekolah kamu ke rumah Tante Yuli dulu atau langsung pulang?" tanya Tita, sebelum ia menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Iya, dong, Mi. Kalau aku nggak ke sana kasihan Sakura nanti nggak bisa kerja," jelas Pita di sela-sela kunyahannya. "Tapi nggak sampai malem banget kayak biasanya, kok, Mi. Paling jam 7an udah pulang. Soalnya udah ada Kak Bima yang ngegantiin aku sampai Sakura pulang kerja."

"Iya, kamu anak perempuan. Tidak baik kalau pulang malam-malam."

"Iya, nggak, Pi."

Persis seperti dugaan Pita, kalau ada papinya pasti ia tidak diperbolehkan berada di luar rumah lewat dari jam 7 malam. Baguslah Pita sudah berbicara pada Sakura mengenai ini sebelumnya untuk memberi pengertian.

Seusai menyudahi sarapannya, Pita bangkit menggendong tasnya. Bersiap-siap untuk berangkat.

"Pi, Mi, Pita berangkat sekolah dulu, ya," pamit Pita sembari mencium punggung mami dan papinya satu persatu.

"Hati-hati, ya, Sayang. Jangan ngebut-ngebut naik motornya," ujar Tita, lembut, seraya ikut bergegas. Mengantar Pita ke depan.

Sementara Erik memilih untuk melanjutkan sarapannya yang tinggal sedikit lagi habis. Jadi tanggung jika ditinggalkan.

"Hati-hati, Nak," kata Erik menyusul.

Namun tak lama kemudian perhatian Erik terambil oleh nada dering ponselnya sendiri. Yang menandakan adanya panggilan masuk. Erik melirik layar ponselnya yang berdering dengan getaran di atas meja. Di sana tertera pemanggil dengan nama kontak; Kepala Kepolisian. Usai memastikan bahwa istri dan anaknya telah benar-benar tidak lagi berada di ruang makan, Erik segera mengangkatnya.

"Selamat pagi, Pak Erik," sapa seorang pria dengan suara berat di seberang sana.

Erik mengabaikan sarapannya sejenak. "Ya, pagi Pak Danu. Bagaimana, Pak? Apakah tersangka sudah memenuhi panggilan?"

"Justru itu yang ingin saya bicarakan, Pak. Terhitung sudah satu Minggu lebih semenjak surat panggilan itu dikirim, Bu Yuli masih belum datang untuk memenuhi panggilan kamu, Pak. Apa kita langsung kirimkan surat penahanan saja?"

"Tidak-tidak. Jangan dulu," sergah Erik, cepat. Bagaimana pun juga, Erik tidak ingin gegabah atau pun terburu-buru dalam memutuskan suatu tindakan apapun.

"Lalu bagaimana, Pak?" Kepala Polisi itu bertanya lagi.

Erik berdecak. Kemudian berdeham panjang sambil berpikir. "Kirimkan saja surat panggilan yang kedua. Kalau sampai yang kedua ini Yuli masih belum memenuhi panggilan atas tuntutan saya, barulah kita ambil tindakan lebih lanjut."

💕

Bima bersendawa tanpa malu, setelah ia berhasil menghabiskan dua mangkuk sekaligus mie ayam Bude yang terkenal paling enak di seluruh penjuru Universitas Nusa. Saking terkenalnya pelanggan pun datang dari berbagai kalangan. Dekan, Kaprodi, Dosen, Mahasiswa, dan karyawan kampus lainnya sudah biasa makan siang di sana. Salah satunya hari ini adalah Bima.

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang