[vol. 2] 9. I Don't Want You Hate Me

3.9K 476 16
                                    

"Sebenarnya apa alasan kamu menjauhi saya?"

***

Bruk!

Mendengar suara itu, secepat mungkin Angkasa beranjak dan segera menyambangi Sakura di dalam kamarnya.

Saat pintu terbuka, terlihat Sakura sudah menjatuhkan dirinya di lantai. Sakura terisak, itulah yang membuat Angkasa cemas. Entah ini sudah kali yang ke berapa Sakura menumpahkan air matanya, sehingga Angkasa tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Sakura menangis terdengar lebih pilu dari sebelum-sebelumnya. Memandangi selembar kertas yang tergenggam kuat di tangannya.

Bukan, bukan kertas itu yang membuat Sakura sampai menitikan air mata. Melainkan gambar yang masih terlihat jelas di permukaan lecaknya. Gambar yang merupakan goresan terakhir ibunya sebelum beliau pergi untuk selamanya tanpa kembali.

Usai membasahi lembaran itu dengan tetes demi tetes air matanya yang berjatuhan, Sakura mendekap lembaran itu di dadanya.

Lagi-lagi melihat Sakura menangis Angkasa tidak bisa melakukan apapun lagi selain merengkuhnya. "Nggak apa-apa menangis. Kamu boleh menangis sekeras mungkin kalau kamu merasa kepergian ibumu terlalu menyakitkan bagi kamu... Tapi saya harap mau kamu jangan pernah melupakan kalau sekarang kamu masih memiliki saya," tutur Angkasa dengan mengusap rambut Sakura. Yang membuat isak tangis gadis itu kian menjadi terngiang jelas di telinganya.

Dengan deru napas yang tersengal hampir mau mati, kini Sakura tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak meluapkan tangisnya yang sejak tadi pagi ia tahan-tahan dalam benaknya. Dada Sakura benar-benar terasa sesak dan nyeri. Seperti ada luka di dalamnya, namun tak terlihat oleh kasat mata. Ingin diobati, namun tak ada penawarnya.

Lantas saat ini yang Sakura rasa hanyalah membiarkan penapasannya terhambat. Membiarkan tiap tarikan napasnya yang terasa sangat membebankan.

"Kamu udah terlalu lelah menangis. Sekarang kamu istirahat, ya?" tanya Angkasa lembut.

Seraya mengangkat kepalanya dari sandaran di dada Angkasa, tangan Sakura sibuk membersihkan bekas air mata di pipinya.

Dengan dipegangi oleh Angkasa, Sakura berdiri dan pindah ke ranjangnya. Merebah di sisi tengah, sementara Angkasa duduk di sisi pinggirnya.

"Jangan khawatir. Jangan takut dengan hari esok. Apapun yang terjadi, saya akan berusaha untuk tetap ada di sisi kamu. Buat kamu. Saya nggak akan melepaskan tangan kamu dan membiarkan kamu sendiri," ujar Angkasa dengan sorot mata yang begitu meyakinkan menatap lurus sepasang mata lelah Sakura.

Sakura mengangguk samar, percaya akan apa yang Angkasa katakan. Sampai tak lama kemudian ia mencoba untuk memejamkan matanya, meskipun kedua tangannya masih memegang erat gambar ibunya. Meletakkan gambar itu tepat di dadanya.

Setelah Sakura benar-benar terlelap, pelan-pelan Angkasa mengambil gambar itu, lalu mengulur selimut tebal untuk menutupi tubuh Sakura.

Beberapa saat sebelum menaruh lembaran lecak itu, Angkasa memerhatikan tiga gambar sederhana yang terlukis di sana. Bukan gambar yang sempurna. Hanya sebuah sketsa minimalis yang membentuk kotak persegi panjang, orang, dan... sebuah pisau?

Sesaat Angkasa menggeming. Jujur saja ia agak terkejut saat melihat gambar ketiga. Apa ada maksud lain yang ingin ibunya Sakura sampaikan melalui gambarnya ini?

"Ayah... Ibu...."

Belum lama terlihat pulas dalam tidurnya, tiba-tiba suara lirih Sakura membuat Angkasa segera menoleh.

"Ayah sama Ibu jangan tinggalin Sakura...."

Angkasa kembali memutar posisi duduknya menghadap Sakura, seusai ia menaruh lembaran lecak itu di atas nakas.

"Sakura nggak mau sendirian...." Suara Sakura terdengar semakin bergetar.

Sebetulnya sejak kecil, Sakura memang sering mengigau kalau ia sedang dihadapi dengan situasi yang terlalu sulit baginya seperti ini. Bahkan pernah lebih parah dari ini, sewaktu kecil kalau mengigau Sakura bisa menangis sampai meraung-raung. Persis seperti saat ayahnya meninggal dulu.

Polisi yang menjaganya menjadi saksi mata, kalau selama beberapa hari berturut-turut paska kejadian yang menimpa kedua orangtuanya itu, Sakura menangis sampai sesenggukan.

💕

Perlahan-lahan mata Sakura terbuka. Didapatinya dirinya terbaring di tengah ranjang kamarnya, sedangkan yang terakhir kali ia ingat dirinya tidak berada di sini.

Sakura menyibakkan selimutnya. Bangun, lalu beranjak keluar.

Akan tetapi, langkah Sakura seketika berhenti saat tiba-tiba ia dapati Angkasa tengah tertidur di kursi panjang yang ada di ruang tamunya.

Sakura kembali masuk ke kamarnya, namun tak lama ia keluar lagi, dengan membawa sebuah selimut. Yang kemudian selimut itu ia gunakan untuk melindungi Angkasa dari udara dingin yang terasa lebih menusuk di kulit malam ini.

Tidak ingin Angkasa sampai terbangun, Sakura benar-benar menyelimuti cowok itu dengan sangat hati-hati. Mengulurkan selimut tersebut sampai menutupi dada Angkasa. Lalu setelahnya pergerakan Sakura tertahan, tepat ketika pandangannya berlabuh pada wajah tidur Angkasa.

Memerhatikan wajah tidur itu lamat-lamat tanpa disadari, tiba-tiba saja membuat Sakura kembali teringat akan kesalahannya pada Angkasa, sehingga sesaat kemudian ia merasa dirundung kembali pula oleh rasa bersalahnya sendiri. Pasal Angkasa yang tidak mengetahui apa-apa, membuat Sakura merasa, perasaan cowok itu terlalu tulus dan benar-benar tidak sepantasnya diberikan untuknya.

Angkasa yang tetap bertahan menghadapi sekian banyak keegoisannya. Angkasa yang selalu adanya tiap kali ia membutuhkan seseorang di sisinya. Angkasa yang tidak pernah lelah untuk memeluknya, menghapus air matanya, menenangkannya. Semua hal itu benar-benar sudah lebih dari cukup untuk membuat Sakura merasa dirinya tidak mencintai orang yang salah untuk kali ini.

Segala hal yang Angkasa lakukan, Sakura rasa itu semua sudah melampaui batas untuk membuktikan sebetapa tulusnya cowok itu mencintainya. Walaupun tetap saja, semakin Angkasa baik padanya, justru semakin mendalam pula rasa bersalah Sakura untuk cowok itu. Bahkan mungkin kata maaf saja tidaklah cukup untuk menebus kesalahannya.

"Aku benar-benar minta maaf, ya, Kak," ucap Sakura dengan menatap sepasang mata Angkasa yang terpejam rapat. "Makasih, Kak Angkasa udah selalu ada buat aku. Di sisi aku tiap kali aku butuh seseorang."

Namun saat pandangannya bergeser pada bibir cowok itu, perlahan tapi pasti, sungguh-sungguh di luar kesadarannya, Sakura mendekatkan wajahnya dengan wajah Angkasa. Mempersempit jarak antara bibirnya dengan bibir Angkasa. Hingga kemudian menempelkan bibirnya, tepat di bibir Angkasa. Berdetik-detik, sampai seketika ia terkejut, saat tiba-tiba mata Angkasa terbuka dan langsung bertemu dengan matanya.

Sakura hendak beranjak, tetapi ia tak sempat, lantaran tengkuknya sudah keburu tertahan oleh tangan Angkasa yang bergerak begitu cepat. Kali berikutnya Angkasa langsung melumat bibir Sakura, sampai-sampai gadis itu tidak sanggup untuk berkutik lagi.

Cukup lama, barulah Angkasa melepaskannya. Dan bangun untuk mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Pun dengan Sakura yang saat itu juga langsung terduduk kaku dengan jantung yang berdebar tidak keru-keruan memburu napasnya.

"Sebenarnya apa alasan kamu menjauhi saya?"

Beberapa saat, Sakura terdiam. "Aku nggak akan kasih tahu, karena Kak Angkasa pasti akan benci aku setelah tahu semuanya."

"Tahu apa?" Seketika Angkasa menoleh pada Sakura yang terus menundukkan kepala.

Dengan segenap dorongan keras dari dalam dirinya, usai menarik napasnya panjang, Sakura akhirnya menutur, "Aku deketin Kakak cuma karena sebuah misi dari Lola. Dan aku nggak mau menyakiti Kak Angkasa dengan menerima bahkan membalas pernyataan perasaan Kak Angkasa ke aku, walaupun aku punya perasaan yang sama ke Kakak. Maaf...."

===

To be continue...

Follow IG
ITSCINDYVIR \\ AMATEURFLIES

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang