[vol. 1] 11. Tanpa Pamit

8.2K 1.1K 45
                                    

Kalau pada akhirnya ingin pergi dan meninggalkan, lalu untuk apa kamu hadir dan memberi harapan?

***

10.34 Argalen Elnandhio: Kamu di mana?

13.05 Argalen Elnandhio: Nggak ngampus hari ini?

14. 11 Argalen Elnandhio: Ada di rumah nggak?

Entah ini sudah terhitung yang ke berapa kali Galen mengecek notifikasi pada ponselnya. Nyaris setiap menit, di mana pun. Di kampus, di kantin saat sedang menunggu kelas, di ruang senat sebelum memulai rapat, dan terakhir, di area parkir sebelum dirinya menyalakan mesin motornya. Galen setia menunggu balasan Viola yang tidak biasa-biasanya ditandai dengan ceklis satu.

15.43 Argalen Elnandhio: Aku baru selesai kelas, nih. Aku ke rumah kamu, ya?

Sebetulnya untuk chat yang terakhir, itu bukanlah sebuah pertanyaan. Karena tanpa menunggu balasan dari Viola, Galen akan tetap berangkat ke rumah gadisnya itu. Tidak peduli mau Viola nantinya membalas sedang ada di rumah atau tidak. Memperbolehkannya atau tidak, Galen kukuh pada tabiatnya.

💕

"Kalau Kak Angkasa susah buat dideketin secara sengaja, berarti lo harus pikirin, Sa, gimana caranya lo ngedeketin dia, tapi seolah-olah itu takdir yang emang nggak disengaja," ujar Bima serius, ketika kala itu Sakura bercerita kepadanya mengenai sang target yang nyatanya terlalu sulit untuk menerima kebaikan orang lain.

"Terus gue mesti ngelakuin apa, Bon?"

Menuruti instruksi Bima; ketika melihat mobil Angkasa keluar dari area parkir, tidak jauh dari gerbang masuk Universitas Nusa, Sakura sudah stand by memasang posisi dengan sepedanya, bersiap untuk menjalankan misi. Hingga saat mobil itu benar-benar keluar dari gerbang dan mengambil kecepatan, Sakura segera menggoes sepedanya jauh lebih cepat. Lalu tak lama...

Brak!

Dengan sengaja Sakura membuat dirinya dan sepedanya tertabrak oleh mobil Angkasa.

"Aw!" Gadis itu meringis kesakitan. Niatnya memang ingin berpura-pura jatuh lalu ingin meminta tanggung jawab dari Angkasa, tapi jadinya malah jatuh sungguhan sampai lutut dan sikunya terluka cukup parah. Darahnya pun sedikit mengalir.

Angkasa turun dari mobilnya. Menghampiri Sakura yang sudah tersungkur di aspal. "Lukanya beneran, atau cuma modus?" Ia bertanya kemudian, membuat Sakura sesaat menengadahkan kepalanya.

"Ya, beneranlah, Kak. Ngapain aku modus ngebuat-buat luka. Orang gila juga ogah, kali!" sungut Sakura, galak.

Tidak langsung mempercayai ucapan Sakura, Angkasa tiba-tiba mengambil posisi jongkok. Sejenak mengamati luka pada lutut Sakura. "Makanya, pakai celana itu yang beneran dikit. Jangan yang bolong-bolong kayak gembel gitu."

Sakura berdecih. Dalam hati mengomel, ini orang katro amat, sih! "Ini, tuh, namanya ripped-jeans, Kak. Kalau celana panjang yang berbahan jeans, aku nyamannya cuma yang model kayak begini. Jadi nggak terlalu gerah."

"Saya nggak nanya, dan saya nggak mau tau," Dengan ketus Angkasa menimpali. "Tapi yaudahlah, cepet naik ke mobil saya. Kita ke klinik," katanya seraya berdiri kembali, hendak mendului Sakura masuk ke dalam mobil.

"Terus sepeda aku gimana, Kak?"

"Tinggal aja di situ, nanti saya suruh orang buat taruh di parkiran kampus."

Sakura mengangguk, paham. Namun saat ia mencoba memaksakan kedua kakinya untuk menegak bangkit, tiba-tiba lututnya yang tidak mampu menopang, tertekuk lagi. "Aduh!"

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang