4 - Tentang Hati yang Tak Mampu Berdusta

1.3K 158 30
                                    

"Tolak ukur sebuah kesuksesan tidak melulu soal hasil, tapi lebih kepada rasa bahagia yang menghuni hati secara permanen."

---

Sepanjang sisa perjalanan, Rana disibukkan oleh monolog dalam kepalanya. Tentang pengakuan Bara yang tidak masuk akal, tentang ekspresi bahagianya kini. Sesekali Bara masih menyanyikan lagu Menyimpan Rasa yang dipopulerkan oleh Devano Narendra, dengan nada yang semakin kacau. Kali ini Rana sama sekali tidak berminat menegurnya.

Setibanya di kos, Rana langsung turun dari motor dan berjalan ke arah pintu unitnya. Sama sekali tidak ada basa-basi atau sekadar ucapan terima kasih seperti biasanya.

"Kamu kebelet, ya?" Pertanyaan Bara sukses menghentikan langkah Rana. "Buru-buru amat."

Rana menoleh sambil tersenyum lemah. Ia menyandarkan punggungnya di daun pintu yang belum sempat dibukanya. Entah, kenapa juga ia harus terkesan menghindar seperti ini? Kenapa baru sekarang? Padahal selama ini nama Luna memang selalu ada hampir di semua ucapan Bara. Mungkin karena Rana merasa Bara sudah keterlaluan. Antara cemburu dan khawatir sahabatnya itu mengalami gangguan kejiwaan bercampur jadi satu.

"Kamu nggak penasaran aku ketemu Luna di mana?"

Nah, itu yang membuat Rana mendadak pendiam sore ini. Mendengar nama itu lagi, Rana hanya bisa mendesah pasrah. Tapi kali ini ia tidak tahan untuk tidak berkomentar.

"Maksudnya, kamu ketiduran di kampus, terus mimpiin Luna lagi, kan?"

Merasa perlu lebih serius menjabarkan maksudnya, Bara menurunkan standar samping motornya, lalu merapat ke sisi Rana.

"Nggak akan ada sejarah seorang Bara ketiduran di kampus. Aku ini mahasiswa teladan, meskipun nilainya selalu pas-pasan."

"Terserah, deh!" Rana mengibaskan tangan. "Terus?" lanjutnya dengan kedua alis terangkat.

"Tadi pagi aku kehabisan bensin, terus--"

"Astaga!" Rana langsung memotong ucapan Bara. "Kok, bisa seceroboh itu? Kan--"

"Sssttt ..." Bara menempelkan telunjuk di depan bibir. "Ini bukan waktunya ceramah," katanya. Dan Rana mau-mau saja menurut dengan langsung menelan kembali sisa kalimatnya, mempersilakan lelaki di depannya melanjutkan ceritanya.

"Intinya, cewek yang nolongin aku mirip banget sama Luna."

Rana mengernyit. "Emang kamu masih ingat persis wajah Luna?"

Bara mengangguk mantap. Tapi detik selanjutnya ia malah mengangkat tangan dengan posisi telapak menghadap ke Rana, isyarat akan mengklarifikasi sesuatu.

"Maksudku bukan ke fisik, sih. Tapi lebih kepada ..." Bara tampak berpikir. Bola matanya berputar sejenak. "... sikap melindungi yang juga saya rasakan saat bersama Luna dulu."

"Luna juga sering ngasih kamu bensin?" Selain pura-pura bego, Rana tidak tahu harus merespons seperti apa.

Bara menghela napas sambil memegang kedua pundak Rana, memastikan tatapan mereka bertemu.

"Banyak orang di jalan itu, mereka lihat aku, tapi tidak ada yang peduli. Hanya cewek itu yang tergerak untuk menegur, lalu mau repot-repot mencarikan bensin sampai nekat lawan arah segala."

Rana bingung, kenapa rasanya harus setidakmenyenangkan ini? Kesungguhan yang diperdengarkan Bara menghantarkan ketidakrelaan yang memantul secara brutal dalam hatinya. Kenapa harus cewek itu? Apakah yang dilakukan Rana selama ini sama sekali tidak ada artinya dibanding sebotol bensin?

"Lalu kalian kenalan? Atau jangan-jangan sudah tukaran nomor WA?" tebak Rana, alih-alih menginginkan obrolan itu cepat berakhir. Ia ingin segera masuk ke unitnya, lalu menikmati rasa sakit yang kembali menyepuh hatinya perlahan-lahan.

Cinta yang Tak Pernah Kau PandangWhere stories live. Discover now