7 - Ajari Aku Cara Menyembah Tuhanmu

1.1K 127 8
                                    

Menabung itu memang perlu, tapi jangan semuanya. Ingat untuk selalu memberikan hadiah kepada diri sendiri atas perjuangan yang telah dilalui.

---

Helen nyaris terlambat lagi. Ketika rekannya mulai sibuk bekerja, ia masih membenahi riasan wajahnya. Pasalnya, Bian juga paling tidak suka kalau pegawainya masuk shift dalam kondisi tidak fresh.

Helen mematut diri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Make up tebalnya membuat Rana curiga. Saat Helen datang dengan tergesa-gesa tadi, sekilas Rana melihat lebam di keningnya. Benar saja, ia berusaha menutupi lebam itu, meski masih terlihat samar-samar. Rana semakin yakin ada yang tidak beres. Tapi Rana memilih menyimpan rasa penasarannya sampai jam istirahat nanti. Selama masih jam kerja, ia harus profesional, sebisa mungkin menghindari obrolan yang sama sekali tudak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Di jam istirahat, Rana sengaja meminta satu rekannya stanby di area sales, sementara ia dan Helen makan duluan di belakang. Bian sedang keluar. Tadi ia tampak buru-buru setelah menerima telepon. Tidak adanya Bian bukan berarti Rana bebas berbuat semaunya, tapi minimal suasananya jadi lebih nyaman dan kondusif untuk mencari tahu apa yang disembunyikan Helen.

"Emm ... aromanya enak banget," puji Helen saat membuka tutup nasi kotaknya. "Beli di tempat biasa, ya?" tanyanya kemudian.

Rana hanya mengangguk saat Helen menoleh minta jawaban. Rana paham, Helen berusaha bersikap ceria seperti biasanya. Kendati demikian, gerak-geriknya masih saja terlihat janggal.

Rana memilih mengendapkan beberapa pertanyaan yang sedari tadi mencak-mencak dalam kepalanya. Ia menunggu sampai mereka selesai makan. Mengobrolkan hal terlalu serius sambil makan tidak baik, sementara mereka butuh asupan gizi yang cukup untuk menjalani sisa jam kerja.

"Keningmu kenapa?" tanya Rana akhirnya setelah Helen selesai makan dan baru saja menenggak hingga setengah isi botol air mineral di depannya.

Raut wajah Helen mendadak kaku. Ia juga tampak kesulitan memfokuskan pandangan ke satu titik. Kentara sekali ia ingin menghindar.

"Aku duluan, ya. Ranti juga pasti udah lapar banget." Helen bangkit dari duduknya.

Namun sebelum sempat beranjak, Rana mencengkeram pergelangan tangannya.

"Hari ini Ranti puasa nazar. Tidak masalah kita lebih lama di sini. Nanti waktu istirahatnya hanya untuk shalat dan membaca Al-Quran beberapa ayat."

"Tapi--"

"Kita perlu bicara. Kamu tidak bisa kayak gini terus. Belakangan kamu berubah."

Mendengar kalimat tidak terduga itu, Helen kembali merosotkan tubuhnya.

"Kamu pasti menyembunyikan sesuatu. Padahal kamu yang selalu bilang, masalah apa pun akan terasa lebih ringan jika kita berkenan membanginya dengan orang lain."

Helen hanya terus menunduk, sama sekali tidak punya kekuatan untuk membalas tatapan Rana.

"Kita masih teman, kan?"

Detik itu juga pertahanan Helen roboh. Air matanya meruah begitu saja, punggungnya terguncang sedemikian hebat.

Rana lekas menariknya ke dalam pelukan. Untuk beberapa saat Rana tidak bertanya apa-apa lagi. Ia membiarkan Helen menangis seperti itu saja dalam pelukannya, sampai sesak di dadanya reda.

"Aku ingin berhijab, Ran," ujar Helen kemudian dengan suara bergetar.

Rana langsung melepas pelukannya, menatap tepat di manik mata Helen. Meihat kondisi Helen, pengakuan barusan tidak bisa lagi Rana anggap sebagai angin lalu seperti yang sudah-sudah.

Cinta yang Tak Pernah Kau PandangWhere stories live. Discover now