Satu

6.5K 232 7
                                    

Irene

Tajam hujanmu ini sudah terlanjur mencintaimu:

payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,

air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,

aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,

arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan

deras dinginmu

sembilu hujanmu

Suara penyiar radio membacakan puisi karya Sapardi Djoko Damono terdengar sangat menyayat bagiku. Apalagi jika di dengarkan di saat hujan seperti ini. Aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang pagar rumah kostku. Satu tanganku masih memegang payung kuning karena hujan yang turun cukup deras. Setelah memasuki garasi, aku menutup payungku dan membawanya ke kamarku yang berada di lantai 2. Suara benturan heels dan tangga yang terbuat dari besi terdengar sangat nyaring.

Aku membuka pintu kamarku dan mulai menyalakan lampu. Pandanganku beredar pada seluruh ruangan yang tampak kacau. Tentu saja aku ingat penyebab kekacauan itu. Tadi pagi aku bangun kesiangan karena malam sebelumnya aku harus begadang menyiapkan pesta perpisahan untuk Pemimpin Cabang di Bank tempat aku bekerja. Kenapa aku yang menyiapkan? Karena profesiku sebagai seorang Supervisor HRD dan Operasional Cabang membuatku selalu menjadi orang tersibuk setiap kali ada acara kantor. Aku merebahkan badanku yang terasa lelah di tempat tidur. Aku tidak peduli dengan barang-barang yang berserakan di sekitarku. Aku hanya ingin mengistirahatkan badanku dan juga memejamkan mata. Aku juga tidak lagi peduli kalau perutku terasa sangat lapar sekarang karena aku belum makan nasi sejak pagi.

Aku hanya ingin tidur sekarang.

-00-

Ervin

Alunan suara Freddie Mercury menyanyikan Love of My Life menggema di dalam kamarku. Aku sedang mengemasi baju-bajuku di dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper. Tidak banyak barang yang aku miliki sehingga akan mudah membawanya pindah dari rumah ini. Suara ketukan di pintu membuatku menoleh dan mataku melihat Raya, adik perempuanku satu-satunya, sedang berdiri di daun pintu.

"Kakak mau dibantuin?" tanya Raya seraya berjalan mendekati kakak laki-lakinya.

"Sudah selesai kok." Jawabku sambil menutup koper.

"Kakak kenapa enggak tinggal di sini saja? Ini kan juga rumah kakak." tanya Raya. Matanya tampak sedih melihat kakaknya yang akan pergi dari rumahnya sendiri.

Aku malah tersenyum. "Ra, kamu kan sudah menikah, jadi kakak juga enggak enak jika harus tinggal bersamamu di sini. Bagi kakak, mau tinggal di manapun enggak masalah. Kakak juga sudah biasa tidak tinggal di rumah, kan?"

"Tapi kan kali ini sama-sama di Jakarta?" Raya masih bersikeras. Ia ingin bisa tinggal dengan kakaknya yang sudah lama sekali tidak pulang.

Sejak kedua orang tua kami bercerai dan memilih hidup sendiri-sendiri, Aku tinggal bersama Papa di Jerman dan Raya tinggal bersama Mama di Jakarta. Kami berdua terpisahkan selama bertahun-tahun hingga saat aku mendengar kabar jika Mama meninggal dunia karena sakit paru-paru yang dideritanya. Aku pulang ke Indonesia dan memilih tinggal di Jakarta bersama adik semata wayangku yang saat itu masih duduk di bangku SMA.

Pilihanku untuk tinggal di Jakarta membuatku harus bertahan hidup dengan cara bekerja paruh waktu sembari kuliah. Bahkan, saat aku mendapatkan beasiswa di US, aku juga bekerja paruh waktu di sana. Aku harus mendapatkan tambahan uang untuk hidup Raya yang tidak lagi memiliki siapapun kecuali aku. Tujuanku adalah memberikan kehidupan yang baik untuk untuknya hingga akhirnya ia menikah dengan seorang dokter. Bagiku, Raya adalah hal utama.

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now