Dua Puluh Empat

1.8K 117 1
                                    

Irene

Pandanganku tertuju pada jas yang menggantung di gantungan baju. Tanpa sadar aku masih memakai jas Keenan hingga di rumah. Jas itu mengingatkanku pada peristiwa semalam dan membuatku malas untuk beranjak dari tempat tidur. Mataku terasa berat karena aku tidak tidur semalaman. Pikiranku mengajakku untuk terus terjaga dan berpikir. Aku mendengar suara pintu diketuk dan suara Ervin terdengar. Dia pasti mengkhawatirkanku karena aku tidak juga ke luar kamar hingga jam menunjukkan pukul 7 di mana aku seharusnya aku sudah bersiap ke kantor. Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Saat aku membukanya, aku melihat wajah Ervin yang terlihat cemas.

“Kamu baik-baik saja, Ren? Wajahmu pucat.” Ervin langsung meletakkan punggung tangannya di keningku.

“Kamu demam.” Ucapnya lagi.

Aku tidak mengatakan apapun. Bahkan saat Ervin akhirnya berjalan keluar untuk membeli obat demam di apotek, aku hanya melihatnya saja. Aku masih bingung harus mengatakan apa padanya dan darimana aku harus mulai bercerita padanya.

Aku menyeret kakiku masuk ke dalam kamar dan mengambil ponsel. Jari-jariku mengetik di layar ponsel. Aku meminta Nadya untuk menyampaikan pada Keenan kalau hari ini aku ijin tidak masuk kerja. Sebenarnya, aku belum siap untuk berhadapan dengannya lagi. Meski selama bertahun-tahun aku menunggunya hadir kembali di dalam hidupku, namun saat dia benar-benar datang aku justru tidak siap. Dia yang selama ini aku tunggu justru hadir saat aku sedang bersama laki-laki lain. Dia yang selama ini terus tersimpan di dalam hati malah datang saat hatiku sudah terisi oleh laki-laki lain.

-00-

Keenan

Tanganku mengetuk-ngetuk meja sementara otakku sedang memikirkan Irene. Baru saja Nadya masuk ke dalam ruanganku dan mengatakan kalau hari ini Irene tidak masuk kerja karena sakit. Aku sama sekali tidak menyangka jika Irene akan menjadi se-terguncang semalam.

Aku masih ingat saat aku mengikutinya berjalan menuju ke rumahnya semalam, dia terus menangis. Berkali-kali dia menghapus airmatanya. Ingin rasanya aku menghampirinya, namun aku tahu mungkin Irene membutuhkan waktu untuk berpikir. Seperti saat hari ini dia tidak masuk kerja, mungkin dia masih ingin sendiri dan tidak ingin bertemu denganku. Aku melirik ke ponselku yang sejak semalam terus berbunyi karena telepon dari Ervin. Entah sudah berapa kali dia meneleponku, mungkin ingin meminta penjelasan. Namun, aku tidak ingin menjelaskannya pada Ervin karena akan lebih baik jika Irene sendiri yang menjelaskannya.

-00-

Ervin

Keenan tidak juga mengangkat telepon dariku. Aku meletakkan lagi ponselku di meja. Di depanku sekarang layar laptop menyala dan menunjukkan template gmail. Aku sedang mengirimkan email pada seseorang yang biasa membantuku mencari informasi untuk klien. Sebagai seorang pengacara aku harus memiliki seseorang yang bisa mencarikanku informasi yang tidak diketahui orang-orang lainnya. setelah mengirim email, aku menutup kembali layar laptop dan beranjak dari tempat duduk. Aku berjalan keluar dari ruang kamarku dan menuruni anak tangga. Aku harus berbelanja beberapa barang kebutuhan untuk Irene makan.

-00-

Irene

Aku masih terpaku di tempatku berdiri saat melihat Ervin berada di dapurku dan sedang memasak. Dia memaksa untuk menyiapkan makan siangku, karena tadi pagi aku hanya memakan 2 sendok bubur yang dibelinya.

“Kamu jangan mengamatiku seperti itu terus, Ren. Nanti kamu semakin jatuh cinta.” Ujarnya masih dengan tangan yang sibuk mengaduk sop daging buatannya.

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang