END

3.3K 131 3
                                    

Keenan

Langit sore tampak menguning. Semburat-semburat jingga menambah kontras warna langit yang cerah. Matahari seolah ingin menunjukkan keindahannya sebelum akhirnya tenggelam dalam gelap. Aku hanya duduk di taman belakang kantor, tempat para pegawai biasa bersantai sembari minum kopi. Namun, aku tidak sedang menikmati kopi. Aku justru sedang mengisap rokok sembari menikmati langit senja.

“Kopi, Keen?”

Aku menoleh dan menemukan Irene berdiri tidak jauh dariku. Dia meletakkan secangkir kopi di meja di sampingku. Dia lalu duduk di seberang meja.

“Thanks kopinya, Ren.” Aku mematikan rokok yang aku pegang karena ada Irene.

“Ternyata kamu juga perokok.” Ucap Irene. Mungkin dia sudah mengamatiku saat merokok tadi.

“Hanya untuk waktu-waktu tertentu.” Jawabku.

Kemudian, hanya hening yang tercipta. Kami berdua sama-sama larut dalam keindahan senja.

“Aku selalu membenci senja sejak dulu. Karena senja akan membawaku pada gelapnya malam. Dan aku selalu merasa takut setiap kali malam hari.” Ucap Irene tiba-tiba.

Aku mengerti maksud ucapan Irene. Anak-anak di panti asuhan itu akan tidur sendiri-sendiri setiap malam. Dan dulu saat masih kecil, Irene sering bercerita kalau malam hari dia akan menangis karena dia merasa takut. Akhirnya, aku memahami setiap ucapan Irene saat dia mengatakan menyukai matahari terbit, lebih senang berada di gunung, atau saat dia mengatakan dia harus bekerja keras daripada yang lain. Semua itu karena masa lalunya. Saat kecil, Irene pernah bercerita kalau dia senang saat matahari mulai terbit karena itu berarti dia tidak akan merasa ketakutan lagi. Dia juga pernah bercerita kalau dia membenci pantai karena ombak pantai itu jahat dan telah menenggelamkan Ayahnya. Dan kenapa dia harus selalu bekerja keras, itu karena dia ingin mengubah kehidupannya. Dia dulu pernah bilang kalau dia harus mempunyai uang yang banyak sehingga tidak akan kesulitan seperti saat kecil.

“Maafkan aku, Ren. Aku dulu pergi begitu saja tanpa berpamitan denganmu. Saat itu, aku dan Mama pindah ke Jogjakarta karena Mama menikah lagi. Aku tidak sempat berpamitan denganmu karena semuanya sangat cepat. Malam hari aku datang kesana, tetapi pengasuh panti asuhan tidak mengijinkanku menemuimu dan Mama membawaku dengan paksa. Aku selalu berpikir kalau aku akan menemuimu suatu saat nanti ketika aku di Jakarta. Tetapi, saat aku benar-benar datang ke panti asuhan, kamu sudah tidak ada lagi di sana dan tidak ada satupun yang kamu tinggalkan. Aku tidak memiliki fotomu atau apapun yang bisa membantuku mencarimu. Hingga saat aku melihat boneka teddy bear itu di kamarmu.” Aku pikir ini adalah saatnya untuk menjelaskan pada Irene karena mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan lagi.

“Aku tahu Keen. Aku tidak akan menyalahkanmu. Meski saat itu aku menunggumu setiap hari hingga saat aku berusia 18 tahun dan harus keluar dari panti asuhan, kamu sama sekali tidak bersalah karena itu juga bukan keinginanmu. Dulu aku pikir aku akan menunggumu karena untuk pertama kalinya aku merasakan hatiku bergetar saat mengingatmu, tetapi setelah aku bertemu dengan Dhana, aku menemukan cinta dalam versi yang berbeda. Tujuh tahun bersamanya membuatku mengubur ingatanku tentangmu. Dan saat Dhana meninggalkanku, aku pun akhirnya juga menguburnya di dalam ingatanku dan ingatan tentangmu semakin terkubur dalam. Hingga akhirnya, aku bertemu Ervin. Bersama dengannya membuatku merasakan perasaan yang berbeda. Dia membuatku yakin kalau aku tidak ingin kehilangan dia.”

Aku menatap nanar pada Irene saat dia bercerita. Ada perasaan sakit yang tercipta di hatiku saat aku tahu Irene sudah menguburku di dalam ingatannya. Itulah kenapa dia tidak mengingat gelang manik-manik hitam yang dulu pernah diberikannya padaku saat pertama kali melihatnya.

“Kamu tahu kalau Ervin sudah mengetahui tentang masa lalu kita?” tanyaku.

“Ervin tidak pernah menanyakan apapun padaku. Yang dia lakukan justru selalu menemaniku, menghiburku dan memberikan aku waktu. Jika pada akhirnya dia mencari tahu, aku yakin dia hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padaku. Aku percaya padanya.” Jawab Irene. Bibirnya mengulum senyum saat bercerita tentang Ervin. Melihatnya saja, aku tahu kalau dia sangat mencintai laki-laki itu.

“Aku pikir kita masih bisa menjadi teman yang baik, Keen.” Irene mengulurkan tangannya padaku. Senyum mengembang di bibirnya dan membuatnya terlihat sangat cantik. Sinar jingga matahari menerpa wajahnya.

Aku membalas uluran tangan Irene. Bibirku tersenyum meski hatiku masih terasa sakit. Jika ini yang diinginkan Irene, aku akan mengikutinya. Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali mengakui kekalahanku. Irene memilih Ervin dan dia tidak akan pernah berpaling darinya.

Irene

Tanganku menjabat tangan Keenan. Aku telah memikirkan selama satu bulan dan aku pikir ini adalah jalan yang harus aku jalani. Aku tidak bisa meninggalkan Ervin meskipun masa laluku datang kembali. Dia adalah hidupku saat ini dan aku tidak perlu menoleh lagi ke belakang yang malah membuatku akan kehilangan hidupku yang sekarang. Aku membutuhkan Ervin melebihi masa laluku. Itulah kenapa aku memutuskan untuk menemui Keenan sore ini. Aku harus menjelaskan padanya apa yang aku rasakan sehingga dia tidak akan terombang-ambing dengan perasaannya.

“Aku masuk dulu, Keen.” Ucapku setelah melepaskan jabatan tangan.

Keenan mengangguk dan tersenyum. Aku membalas senyumnya lalu berjalan meninggalkannya.

Keenan

Inilah yang sebenarnya terjadi. Irene berjalan meninggalkanku karena kita berdua memilih jalan yang berbeda. Aku harus menerimanya atau setidaknya aku harus belajar menerimanya. Irene tidak akan pernah menjadi milikku siapapun aku baginya.

-00-

Irene

“Ternyata hubungan kalian lebih rumit dari yang aku kira.” Ucap Ervin setelah mendengar ceritaku. Aku tersenyum mendengar responnya. Bukankah seharusnya dia sudah tahu?

“Bukankah kamu sudah mencari tahu?” tanyaku.

Ervin menoleh padaku dan tersenyum lebar. Dia tampak malu mendengar pertanyaanku. “Aku hanya memastikan tidak ada sesuatu yang akan menyakitimu, Ren. Maafkan aku karena tidak meminta ijin padamu dulu.”

“Aku tahu itu, Vin. Aku tahu kamu ingin melindungiku.” Aku menyandarkan kepalaku pada pundak Ervin. Aku bisa merasakan Ervin tersenyum. Tangannya lalu merangkulku erat.

“Aku senang kamu tahu perasaanku, Ren. Aku tidak akan pernah melepaskanmu sampai kapanpun.” Ucapnya. Dia lalu mengecup keningku dalam. Aku bisa merasakan cintanya setiap kali dia melakukannya. Sikapnya padaku membuatku semakin tidak ingin kehilangan dia.

Langit malam yang penuh bintang menjadi saksi cinta kita berdua.

-00-

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang