Tujuh

1.4K 133 2
                                    

Keenan

Mataku masih belum bisa terpejam meski jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku bahkan sudah menghabiskan beberapa botol bir namun aku tidak juga merasa teler. Pandanganku masih tertuju pada langit-langit kamar, namun pikiranku sedang mengirimku kembali pada peristiwa tadi siang. Aku masih tidak bisa lupa dengan cara Irene melihat Ervin. Juga, realita jika mereka berdua saat ini tinggal satu atap dan hanya bersebelahan kamar. Cinta mungkin saja tumbuh di hati Irene, tetapi aku tidak yakin jika Ervin akan merasakan hal yang sama.

Aku sangat mengenal Ervin sejak sama-sama bersekolah di luar negeri. Aku tahu dia adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui. Dia selalu berjuang untuk adik kesayangannya. Dan dia juga sangat menjaga cintanya pada perempuan yang ia sebut cinta pertamanya. Dia telah berkorban banyak hal dan melewati begitu banyak halangan hanya demi perempuan itu. Dan jika Irene menyimpan hati untuk Ervin, maka Irene akan menjadi pihak yang terluka. Ervin terlalu setia pada cintanya, meski cintanya sudah menghianatinya dan pergi.

Tanganku meraih bantal dan menutupi wajahku dengannya. Rasanya ingin sekali menghapus ingatan itu, sehingga aku bisa tidur sekarang.

-00-

Irene

Suara berisik dari kamar sebelah membuatku terbangun. Aku beranjak dari tidurku dan mencoba mendengarkan apa yang terjadi di kamar sebelah dengan menempelkan telingaku pada tembok. Tidak ada suara apapun lagi. Aku bernafas lega lalu melangkah kembali ke tempat tidurku hingga akhirnya terdengar barang terjatuh ke lantai. Aku langsung menghambur keluar kamar dan mengetuk pintu kamar sebelah. Beberapa kali aku mengetuk tetapi tidak mendapat jawaban dan aku semakin khawatir jika terjadi sesuatu pada Ervin. Aku mengetuk pintu lagi dan kemudian pintu terbuka. Mataku menemukan Ervin yang tampak pucat dan tampak berkeringat.

“Maafkan aku berisik, Ren.” Suara Ervin terdengar lemah nyaris tidak terdengar.

“Kamu kenapa, Vin?” Aku merasa sangat khawatir melihatnya seperti ini.

Ervin tidak menjawab. Dia hanya ambruk ke arahku dan aku yang tidak siap hampir saja ikut terjatuh. Satu tanganku memegang pintu dan satunya merangkul Ervin. For the first time, he’s just so close to me. Aku hampir tidak bisa mengontrol detak jantungku. Hingga aku sadar kalau aku harus segera membawa Ervin ke tempat tidurnya.

Aku merebahkan tubuh Ervin di tempat tidur lalu menyalakan air conditioner. Dia sangat demam. Aku melihat ke sekeliling ruangan yang berantakan dan sebuah jug besar berisi air tampak tumpah di sudut ruangan. Mataku menemukan seekor ikan kecil yang tampak menggelepar. Aku langsung mengambil ikan itu dan memasukkan ke dalam sembarang wadah dan mengisinya dengan air. Setidaknya, ikan ini harus hidup karena mungkin Ervin sangat menyayangi ikan ini. Yang aku lakukan selanjutnya adalah berlari ke kamarku untuk mengambil termometer dan obat penurun panas. Aku juga mengambil kantong kompres dan mengisinya dengan es batu dari lemari pendinginku. Aku berlari kembali ke kamar Ervin dan meletakkan barang-barang yang aku bawa di samping tempat tidur.

Kemudian, aku meletakkan termometer di ketiak Ervin dan suhu tubuhnya sudah 39°C. Aku lalu mengkompres kepalanya. Ervin mendesah karena mungkin kepalanya terasa dingin.

“Tenanglah, Vin. Aku akan membantumu.”

Ervin membuka matanya perlahan namun dia masih lemas untuk berbicara, sehingga dia hanya diam saja menatapku. “Kamu bisa kan minum obat?” tanyaku yang dijawab dengan anggukan lemah.

Aku lalu menyiapkan obat dan segelas air minum. Satu tanganku membantu Ervin untuk duduk sehingga dia bisa meminum obatnya. Setelah meminum obatnya, aku menidurkan Ervin lagi. “Sekarang berisitirahatlah.”

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang