Empat

1.7K 139 8
                                    

Irene

Jadi beginilah rasanya menjadi seorang supervisor HRD sekaligus sekretaris pimpinan cabang. Aku harus berkejar-kejaran dengan waktu. Berkali-kali aku melihat arlojiku karena aku hanya punya waktu hingga tiga puluh menit lagi sebelum waktunya Keenan untuk boarding.

“Pak, bisa ngebut enggak sih Pak?” tanyaku pada driver kantor. Suaraku mungkin terdengar ketus karena aku sedang panik.

Satu jam yang lalu, tiba-tiba Keenan meneleponku dan mengatakan kalau dokumen yang akan digunakan untuk presentasi di Bali tertinggal di meja kerjanya. Dia memintaku untuk mengantarnya ke Bandara sebelum pesawat boarding. Dia menolak saat aku mengatakan akan meminta sekretarisnya untuk mengantarnya. Dia bilang aku yang harus mengantarkannya.

Mobil memasuki area bandara dan bergerak melambat karena ada banyak sekali mobil. Aku meminta driver untuk menurunkanku saat memasuki area terminal keberangkatan. Lebih baik aku berlari saja karena jika menunggu antrian seperti ini, sama saja membuang waktu. Aku berusaha berlari dengan cepat meski aku sedang menggunakan stiletto. Rasanya aku ingin merutuki diriku sendiri kenapa harus menggunakan stiletto hari ini. Beberapa kali aku menabrak orang dan juga hampir terjatuh. Saat akhirnya aku sampai di batas check in area, aku melihat Keenan sedang menungguku di balik pintu check in. Dia lalu meminta ijin pada petugas bandara untuk menemuiku sebentar.

“Maaf ya, Ren. Aku merepotkanmu.” Ucapnya saat menerima dokumen dariku. Aku hanya mengangguk saja sambil mengatur nafas.

“Tapi aku senang bisa melihatmu sebelum berangkat ke Bali.” Keenan tersenyum lebar saat mengucapkannya dan membuatku melongo. Apa juga maksud ucapannya? Batinku.

Thanks ya, Ren.” Keenan menepuk pundakku lalu berjalan meninggalkanku. Saat berada di balik pintu check in, dia berbalik dan melambaikan tangannya padaku.

Dengan kikuk, aku membalas lambaian tangannya. Kenapa rasanya seperti sedang ditinggalkan kekasih saja sampai harus melambai seperti ini? Aku merasa aneh sendiri dengan sikap Keenan. Setelah bertahun-tahun bekerja di bagian HRD, baru kali ini aku merasa tidak wajar dengan sikap pimpinanku.

Aku lalu berbalik dan berjalan perlahan. Kakiku terasa sakit setelah berlari-lari dengan stiletto ini. Aku memilih untuk duduk dan melepas stiletto-ku. Ternyata bagian atas tumitku lecet. Aah, aku merasa kesal sendiri. Aku menggerutu sembari membungkuk mengusap perlahan-lahan lecet di kakiku.

“Irene?”
Aku mendongak dan melihat Ervin sedang berdiri di depanku seraya mengamatiku. Dia mengenakan setelan jas rapi dan satu tangannya memegang koper.

“Kebetulan sekali bisa bertemu di sini.” Ucapku berbasa-basi. Aku sebenarnya tidak tahu mau berkata apa. Karena aku tidak menyangka akan bertemu dengan Ervin di sini. Tadi pagi, saat aku berangkat ke kantor, mobil Ervin masih terparkir di samping mobilku. Kamarnya juga masih sepi. Tetapi, semesta malah mempertemukanku dengannya di sini.

“Aku titip koper sebentar ya.” Ervin kemudian berjalan cepat dan menghilang diantara begitu banyak orang di bandara. Aku juga tidak tahu kemana dia pergi. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa kantong plastik putih entah berisi apa. Dia lalu berjongkok di depanku dan mengambil plester dari kantong plastik.

“Vin.” Gumamku. Aku terkejut saat melihat apa yang dilakukannya padaku. Dengan perlahan, dia menempelkan plester di kakiku yang lecet. Dia lalu menyingkirkan stiletto-ku dan meletakkan sepasang sandal jepit warna merah muda di depan kakiku.

“Sementara pakailah ini dulu untuk kembali ke kantor.” Ucapnya sebelum akhirnya berdiri. Aku masih tertegun dan tidak berhenti menatapnya. Sementara dia malah tersenyum padaku.

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now