Enam

1.4K 134 3
                                    

Ervin

Aku memandang kosong pada gelapnya langit malam ini. Tidak ada bintang di langit dan justru lampu-lampu kota yang tampak gemerlap. Aku sedang berada di ruangan Raya di lantai 15 rumah sakit. Raya masih tertidur lemas di tempat tidur. Hari ini, dia baru saja menjalani operasi pengangkatan mioma. William, suaminya, masih harus bertugas hari ini sehingga aku yang akan menungguinya.

Sejak dari kantor hingga sekarang, pikiranku masih tidak mau lepas dari bayang-bayang Katniss. Bahkan, otakku terus menggali memori-memori yang sudah aku kubur dalam-dalam.

Aku bertemu dengan Katniss untuk pertamakalinya saat aku berkuliah di luar negeri. Saat itu aku sedang berdiri di balik meja bar dan Katniss duduk di depanku dengan segelas cocktail. Karena bar sedang sepi, maka aku biasa berbicara dengan pelangganku. Namun, Katniss terus saja mencuri perhatianku. Bahkan, sejak pertama melihatnya duduk di barstool, aku masih tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Dia tampak cantik dengan dress merah dan rambut coklatnya yang tergerai. Matanya yang bulat dan hidungnya yang mancung semakin menarik perhatianku.

May I have another shot?” Katniss mengacungkan gelasnya padaku. Aku mengangguk dan memberikan padanya segelas cocktail lagi.

Dia tersenyum namun tidak bisa menutupi kesedihan di matanya.

Indonesian?” tanyaku padanya dan dia menatapku dengan mengerutkan kening.

You too?” balasnya.

“Ervin.”
Aku mengulurkan tangan padanya sembari tersenyum lebar. Dia membalasnya dan menyebutkan namanya.

“Katniss.”

Setelah itu, kami banyak bercerita tentang diri masing-masing. Bagaimana bisa sampai di sini dan juga di mana tinggal. Saat di luar negeri seperti ini, bisa bertemu dengan sesama orang Indonesia sangatlah menyenangkan.

-00-

Irene

Hari libur adalah saatnya untuk berolahraga. Aku berjalan menyusuri beberapa blok rumah. Sejak pukul 5 tadi pagi, aku sudah berlari-lari mengitari kompleks perumahan untuk membuang beberapa kalori yang tertanam di tubuh selama beberapa hari ini. Dan seperti biasanya, selesai jogging, aku selalu mampir di toko sayur di ujung perumahan. Sekarang, sebungkus sayuran sudah di tangan dan aku siap untuk memasaknya.

Langkah kakiku terhenti saat aku melihat Ervin turun dari mobilnya. Dia tampak sangat lelah dan kurang tidur. Kemejanya lusuh dan rambutnya tampak acak-acakan. Persis seperti kemarin saat aku menjumpainya. Ervin menoleh dan menatapku. Dia lalu tersenyum padaku dan aku membalasnya.

“Barusan jogging, Ren?” tanyanya. Aku dan dia sedang berjalan memasuki rumah.

“Hmm. Kamu sendiri kelihatannya sangat lelah? Apakah pengacara selalu seperti ini?” aku balik bertanya.

Ervin tersenyum mendengarnya. “Adikku baru saja menjalani operasi dan aku menungguinya.”

“Ooh, sorry to hear that.”

“Tapi dia sudah baik-baik saja dan sedang dalam masa pemulihan.” Jelas Ervin.

“Sakit apa?” Aku memberanikan diri untuk bertanya, meski aku tahu mungkin akan terdengar sangat mencampuri privasinya. Dan aku masih ingat dengan jelas kalau Ervin tidak menginginkan hal seperti itu terjadi.

“Ada mioma di uterusnya.” Jawabnya.

Aku mengangguk-angguk mendengarnya.

“Aku masuk ke kamarku dulu.” Ucap Ervin sebelum berjalan meninggalkanku. Dia membuka pintu kamarnya lalu menutupnya. Dan seperti yang selalu terjadi, aku menatap pintu yang tertutup itu lagi dengan perasaan yang bercampur aduk.

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now