Dua Puluh Tiga

1.3K 107 3
                                    

Keenan

Aku duduk di ruanganku dan sibuk membaca dokumen-dokumen yang menumpuk di meja. Sejak kemarin malam, aku terus menyibukkan diriku agar tidak larut dalam kesedihan itu. Namun, hatiku selalu mengisyaratkan kepalaku untuk menoleh ke arah Irene duduk. Seperti sekarang ini, aku sudah meletakkan pulpen dan sedang menatap Irene. Dia tampak sibuk dengan laporan acara family trip meski dia tidak ikut kemarin. Pandanganku lalu beralih pada gelang manik-manik warna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Setelah bertahun-tahun aku menyimpannya, hari ini aku memilih untuk memakainya. Sebenarnya, aku hanya ingin mencoba peruntunganku. Apakah Irene masih mengingat gelang ini?

Irene

Tumpukan dokumen di meja sudah hampir menggunung. Aku harus mendisposisikan ke bagian-bagian lain dengan memasukkannya ke dalam loker yang disediakan. Tidak ada orang di dalam ruangan yang bisa membantuku untuk mengangkatnya karena saat ini adalah jam istirahat siang. Aku masih memikirkan cara untuk mengangkatnya karena dokter tidak mengijinkanku untuk mengangkat sesuatu yang berat dengan tangan kananku terlebih dulu.

“Mau aku bantu, Ren?”

Aku langsung menoleh saat mendengar suara Keenan. Dia berdiri di belakangku dan sedang menggulung lengan kemejanya, seolah dia siap untuk mengangkat dokumen-dokumen ini.

“Kalau kamu tidak keberatan.” Jawabku dengan senyum kecut. Sebenarnya aku malu jika harus meminta bantuannya karena dia adalah atasanku di kantor dan sangat tidak pantas jika harus memintanya untuk mengangkat dokumen-dokumen ini, tetapi aku tidak punya pilihan lainnya.

Keenan langsung mengangkat dokumen-dokumen di mejaku. “Ini mau dibawa ke mana?” tanyanya.

“Ke loker.” Jawabku.

“Oke.” Keenan sudah berjalan menuju loker di lantai bawah sementara aku mengikutinya.

“Tanganmu kelihatannya sudah membaik.” Aku mengangguk menjawabnya.

“Dokter hanya melarangku untuk mengangkat barang-barang berat.”

Keenan mengangguk-angguk.

“Tapi Ervin masih mengantarmu tadi?” tanya Keenan.

Pembahasan tentang Ervin secara otomatis membuatku langsung tersenyum. Tentu saja dalam memoriku masih melekat peristiwa semalam. Juga saat tadi pagi, Ervin tiba-tiba sudah siap di depan kamar dan siap untuk mengantarku. Dia bilang kalau mulai sekarang dia akan selalu berada di sampingku.

“Senyummu menunjukkan hubungan kalian semakin dekat.” Ucap Keenan lagi. Aku menoleh pada Keenan dan mempertanyakan ucapannya.

“Tentu saja aku tahu tentang hubungan kalian tanpa harus mendengar cerita kalian, Ren.” Jelas Keenan.

Aku tersenyum mendengarnya. Lalu, aku meraih satu persatu dokumen dan memasukkannya ke dalam loker saat kami berdua sampai di depan loker. Hingga sesuatu menarik perhatianku. Berkali-kali aku melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangan Keenan. Aku merasa pernah melihatnya namun aku tidak ingat di mana. Gelang itu seolah melekat di dalam memoriku.

“Gelangmu baru?” tanyaku setelah semua dokumen sudah masuk ke dalam loker.

Keenan langsung menyentuh gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ini gelang lama. Aku hanya menyimpannya saja selama ini karena aku takut hilang.”

“Pantas saja gelangnya kekecilan.” Aku setengah tertawa saat mengatakannya, namun tidak dengan Keenan. Dia hanya menatapku dan tidak ada senyum di bibirnya.

Keenan

Mataku menatap Irene dan berusaha mencari tahu di dalam matanya. Aku berharap kalau dia akan mengingat gelang ini, namun yang aku lihat dia memang tampak melupakannya. Apa yang dikatakan Irene tadi benar-benar apa yang ada di pikirannya. Jika dia tidak mengingat gelang ini, mana mungkin dia akan mengingat masa lalu itu.

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang