Tujuh Belas

1.2K 111 4
                                    

Ervin

Saat pertama kali mataku terbuka, wajah Irene yang justru ada di pandanganku. Dia tengah terlelap di sofa kecil. Aku berusaha bangun dari tempat tidur meski kepalaku masih terasa pusing. Tanganku meraih selimut yang jatuh ke lantai dan menyelimutkannya pada Irene. Wajahnya tampak lelah karena semalam dia pasti begadang karena aku. Mataku tidak lekang dari memandanginya. Hingga tiba-tiba tanganku bergerak mendekati wajahnya. Satu jariku menyingkap rambut yang menutupi wajahnya. Dia bahkan masih terlihat cantik meski sedang tertidur seperti ini. Aku menarik tanganku dan mengingatkan diriku untuk tidak terlarut dalam suasana semacam ini.

Langkah kakiku pelan berjalan ke luar kamar. Langit masih belum benar-benar terang karena baru pukul 5 pagi. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi yang cukup menyejukkan. Sementara otakku menyeretku kembali pada peristiwa kemarin, saat aku menemui Katniss di rumah sakit.

Aku masih ragu-ragu saat berdiri di depan pintu kamar Katniss. Dia masih berada di rumah sakit. Tanganku sudah mengenggam pegangan pintu namun aku tidak kunjung membukanya. Hingga ucapan Jeffrey Manantha beberapa jam yang lalu memantapkan hatiku untuk membuka pintu dan meminta penjelasan pada Katniss. Saat di dalam, aku melihat Katniss sedang menatap kosong pada jendela kaca besar. Dia lalu tersenyum saat melihatku. Aku berjalan mendekatinya dan duduk di kursi di samping tempat tidurnya.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyaku berbasa-basi.

Better. Untung saja bayinya tidak apa-apa.” Jawabnya sembari mengelus perutnya yang terlihat membesar.

“Syukurlah.” Balasku. Tanganku masih menggenggam dokumen yang diberikan Jeffrey.

“Ada sesuatu yang harus kamu bicarakan denganku?” tanya Katniss. Ia seolah tahu maksud kedatanganku.

Aku tidak menjawab apapun. Hanya tanganku yang mengulurkan dokumen itu pada Katniss. Dia menerimanya dan membuka dokumen itu pelan karena satu tangannya masih terpasang infus. Aku beranjak dari tempat duduk saat melihat Katniss mulai berkaca-kaca saat membacanya. Aku tidak bisa melihatnya menangis meski aku tidak yakin kalau aku masih menyimpan hati padanya.

“Papa memberikannya padamu?” Suara Katniss terdengar serak.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Seharusnya dia tahu darimana asal semua itu.

“Bagaimana Papa bisa mengetahuinya padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya?” gumam Katniss.

“Kenapa kamu tidak menceritakannya padaku?” tanyaku. Pandanganku tajam padanya. Aku berusaha menahan kemarahanku karena dia hampir saja menyeretku pada kebohongannya.

Katniss menghela napas dalam-dalam. Satu tangannya menghapus airmata yang menetes dari pelupuk matanya.

“Aku hanya tidak ingin anak ini lahir tanpa Papa, Vin.” Sahutnya.

“Itu sangat tidak masuk akal, Kat. Kamu merelakan dirimu melewati semua itu hanya karena laki-laki itu dan anak di dalam perutmu. Kamu pikir kalau anakmu akan lebih bahagia bersama Papanya meski pada akhirnya dia akan tahu seperti apa laki-laki yang disebutnya Papa?”

“Kamu tidak tahu rasanya besar tanpa orang tua yang lengkap, Vin. Itu sangat menyakitkan apalagi kamu tidak punya saudara. Dan aku juga tidak ingin anak ini nanti lahir dan dicemooh karena perbuatan Papanya. Aku.. aku hanya ingin kebahagiaan untuk bayi ini.” Katniss tidak lagi berusaha membendung airmatanya yang mengalir.

“Apakah kamu tidak berpikir jika kamu tetap bersama laki-laki itu, maka suatu saat nanti anakmu akan melihat orang tuanya bertengkar dan Mamanya dipukuli oleh Papanya. Dia juga akan melihat Papanya bersama dengan perempuan lain. Apakah itu bahagia yang kamu maksudkan?”

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang