Sembilan Belas

1.1K 104 9
                                    

Ervin

Aku tidak lagi bisa memikirkan apapun kecuali mendengarkan kabar tentang Irene yang sedang berada di dalam ruang operasi. Sejak satu jam yang lalu, aku hanya berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Bayangan tentang kecelakaan tadi masih terasa jelas di otakku. Dan melihat darah keluar dari kepala Irene membuatku mengkhawatirkan kondisinya. Seharusnya aku tadi tidak membiarkan dia mengambil air mineralnya sendiri. Seharusnya aku yang memaksa untuk mengambilnya atau setidaknya aku menemaninya. Aku mengusap wajahku dengan kasarku.

Pintu ruangan operasi dibuka. Dokter yang menangani Irene berjalan keluar dan aku langsung menghampirinya.

“Bagaimana keadaannya?”

Pria dengan baju operasi itu membuka maskernya dan menjawab, “Dia baik-baik saja. Hanya cedera ringan di kepala dan tangan kanannya mengalami retak. Sebentar lagi dia akan dibawa ke ruangan. Dia hanya perlu pemulihan tangan kanannya.”

Aku menghela nafas lega. Dokter berjalan pergi meninggalkanku yang terduduk lemah di kursi tunggu. Untung saja tidak ada yang parah dengan kondisi Irene.

-00-

Irene

Aku membuka mataku perlahan. Rasanya sangat berat sekali kepalaku. Aku berusaha memegang kepalaku namun tanganku susah bergerak. Langit-langit kamar yang tampak asing membuatku mengedarkan pandanganku pada ruangan sekitar. Hingga, mataku berhenti pada pria yang tengah tidur di sampingku. Aku melihat tangan kananku terbalut perban. Akhirnya aku menggerakkan tangan kiriku untuk menyentuh rambut laki-laki itu yang menutupi sebagian wajahnya. Dia tampak lelah. Entah sudah berapa lama aku tertidur di sini. Hal terakhir yang aku ingat tadi adalah badanku melayang lalu menghantam tanah. Setelah itu semuanya menjadi gelap. Aku hanya mendengar sayup-sayup orang berbicara di sekitarku. Aku mengernyit saat kepalaku terasa sakit. Tangan kiriku menyentuh kepalaku yang ternyata juga dibalut perban.

“Kamu sudah bangun, Ren?” tanya Ervin saat dia terjaga. Aku melihat kekhawatiran di wajahnya. Dan yang aku lakukan malah tersenyum.

“Kok kamu malah senyum, Ren?”

“Lalu aku mesti gimana? Tanganku juga tidak bisa digerakkan.”

Ervin tertawa mendengarnya. “Kamu itu dikhawatirkan malah kaya gitu.”

Aku ikut tertawa, namun tidak lama karena kepalaku terasa sakit kalau badanku berguncang.

“Kenapa?” tanya Ervin saat melihatku memegang kepala.

“Nyeri rasanya.”

“Iya, karena ada jahitan di kepala. Minum obat dulu ya. Tadi katanya suster kamu harus minum obat kalau sudah bangun. Biar enggak berasa nyeri bekas operasinya.”

Ervin beranjak dari tempat duduk dan mengambilkan air putih juga obat di meja nakas yang berada di seberangnya. Dia lalu membantuku bangun dan minum obat.

“Kalau kamu bisa tidur, tidurlah lagi, Ren. Kamu perlu banyak istirahat.” Ucapnya. Ia kembali duduk di sampingku.

“Kamu juga tidurlah di sofa itu. Biar badanmu enggak sakit semua, Vin.”

“Tidurlah dulu. Nanti kalau kamu sudah tidur, aku akan pindah ke sofa.” Balasnya. Aku mengangguk lalu memejamkan mata lagi. Rasanya memang masih sangat mengantuk karena efek anestesi tadi saat operasi.

-00-

Keenan

Langkah kakiku panjang-panjang saat memasuki pintu rumah sakit. Setelah Ervin mengirimiku pesan kalau Irene mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit, aku langsung berangkat menuju ke rumah sakit. Tidak ada yang aku pikirkan selain keadaan Irene saat ini. Aku bahkan berlari-lari kecil saat menyurusi lorong rumah sakit menuju kamar Irene. Hingga aku menemukan kamar Irene dan langsung membuka pintu kamarnya. Dua orang yang berada di dalam kamar tampak terkejut dan menoleh ke arah pintu.

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now