Dua Puluh Satu

1.1K 109 5
                                    

Irene

Ervin membantuku menaiki tangga rumah kost. Hari ini akhirnya aku diijinkan untuk pulang dari rumah sakit setelah hampir seminggu menginap di sana. Tangan kiriku menekan tombol password pintu lalu membuka pintu, sementara Ervin kembali ke bawah untuk mengambil koper. Melihat sekililing ruangan kamarku, aku bernafas lega. Akhirnya, aku bisa kembali tidur di tempat tidurku sendiri. Aku berjalan menuju ke tempat tidurku yang masih rapi persis seperti saat aku meninggalkannya. Beberapa boneka berjajar dan satu boneka teddy bear kecil warna coklat juga masih bersandar di dekat bantalku. Aku meraihnya dan memeluknya dengan satu tanganku. Meski hanya sekedar boneka, aku sangat menyayangi boneka yang selalu menemani tidurku sejak 20 tahun yang lalu. Bentuk boneka ini pun sudah sangat usang.

Aku meletakkan boneka teddy bear di samping bantal saat melihat Ervin masuk ke dalam kamar.

“Aku letakkan di sini ya, kopernya.” Ucap Ervin sembari meletakkan koper di sudut ruangan. Aku mengangguk lalu berjalan menghampirinya.

“Terima kasih ya, Vin. Aku tidak tahu bagaimana jika tidak ada kamu.” Ucapku yang malah membuat Ervin tersenyum lebar.

“Kalau tidak ada aku, mungkin kamu tidak akan seperti ini.”

Aku tersenyum juga. “Kamu istirahatlah dulu.”

“Baiklah, Ren. Kalau kamu butuh apapun, kamu tinggal mengetuk pintu kamar sebelah.”

Aku mengangguk mendengarnya. Ervin lalu beranjak ke luar dari kamarku dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Dia tampak lelah meski dia selalu mengingkarinya setiap kali aku tanya. Setiap malam dia sering terjaga hanya untuk memastikan aku tidur dengan lelap. Dia juga harus bolak-balik dari rumah kost ke rumah sakit setiap harinya. Semua yang dilakukannya ini semakin membuatku tidak bisa menjauh darinya.

-00-

Keenan

Suasana kantor rasanya sangat berbeda tanpa Irene. Ini adalah hari kelima dia tidak masuk kerja. Meski semua pekerjaannya sudah dikerjakan oleh Nadya, namun aku merasa ada yang hilang. Kemarin saat aku berada di kantor hingga malam hari, tidak ada Irene yang tiba-tiba mengetuk pintu ruanganku dan menemaniku lembur. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Bagaimana bisa aku masih begitu bergantung padanya sementara aku tahu hati Irene tidak pernah untukku? Juga, bagaimana aku bisa tetap memelihara perasaan ini padahal aku tahu kalau sahabatku sendiri mencintai Irene?

Suara ketukan di pintu membuatku menghapus semua pikiran itu. Aku melihat ke arah pintu dan melihat Nadya tengah berjalan masuk.

“Ini berkas-berkas yang Bapak minta.” Ucapnya seraya menyodorkan beberapa dokumen di mejaku.

“Thanks, Nad.” Jawabku lalu mengambil dokumen itu dan membacanya.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak.” Nadya berbalik dan melangkah keluar saat aku memanggilnya.

“Bagaimana kabar Irene, Nad?” tanyaku.

“Hari ini dia sudah keluar rumah sakit, Pak. Mungkin senin sudah mulai masuk kerja.” Jawab Nadya.

“Ooh, oke.”

Nadya mengangguk lalu berjalan ke luar ruanganku. Dia menutup lagi pintu ruanganku. Saat aku sendiri lagi, aku langsung memikirkan Irene. Dokumen yang tadi ku pegang sudah ku letakkan lagi di meja. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam otakku sekarang dan yang paling utama adalah sedang bersama Ervin kah Irene sekarang?

-00-

Irene

Aku berjalan cepat menuju ke arah pintu saat mendengar suara ketukan beberapa kali. Saat membukanya, aku terkejut saat melihat Keenan sudah berdiri di depan pintu dan sedang tersenyum padaku.

In Between [END] [The Wattys 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang