Lima Belas

1.2K 117 5
                                    

Keenan

“Belum pulang, Ren?”

Aku bersandar pada pintu kaca ruangan Irene. Tidak ada orang lain di dalam ruangan ini selain Irene.

“Masih ada yang harus diselesaikan, Pak.” Jawab Irene. Dia memandangku sekilas lalu kembali menatap layar komputer.

Aku tersenyum mendengarnya. Irene selalu bekerja lebih keras daripada yang lainnya. Aku berjalan mendekati Irene dan melihat pada layar komputer. Dia sedang mengerjakan laporan untuk renovasi gedung.

“Kamu bisa mengerjakan itu besok, Ren.” Ucapku.

“Besok aku harus bertemu dengan travel agent yang akan mengurusi acara ke Bromo.” Sahut Irene tanpa menoleh padaku.

“Baiklah. Kalau begitu aku akan membantumu.” Aku menarik kursi dan duduk di samping Irene.

Irene

Aku hanya mengamati apa yang dilakukan Keenan saat ini. Dia sedang menarik kursi dan duduk di sebelahku. Dia bilang dia akan membantuku. Kenapa kamu selalu baik padaku, Keen? Batinku.

“Bagaimana kalau aku yang mengatur kata-katanya dan kamu yang mengetik?” tawar Keenan. Dia meraih dokumen di mejaku dan membacanya sekilas.

“Baiklah.” Aku menurut saja. Dia toh pasti lebih pintar dariku.

Keenan mendiktekan kalimat untuk laporan sementara aku hanya mengetik saja. Sesekali kami berdua tertawa karena aku salah mengetik atau dia yang mulai kehabisan kata-kata.

“Finally.” Ucap Keenan saat aku akhirnya menyelesaikan laporan.

Aku mematikan komputerku dan mulai merapikan berkas-berkas di meja.

“Mau makan, Keen?” tanyaku. Aku menoleh dan menunggunya menjawab.

“Boleh. Bills on you?”

“Okay.”

Aku beranjak dari tempat duduk dan mengambil tasku. Kami berdua lalu berjalan keluar dari ruangan kubikel.

“Aku ikut mobilmu saja ya, Ren. Nanti kamu antar aku pulang.” Ucap Keenan saat kami berdua berjalan menuruni tangga.

As you wish.” Sahutku.

Aku tidak tahu sejak kapan aku dan Keenan menjadi sedekat ini. Dia sudah seperti sahabat bagiku, meski kami berdua terpisah birokrasi pegawai.

-00-

Keenan

Warung sup iga tampak ramai malam ini, namun masih menyisakan beberapa bangku kosong. Aku dan Irene duduk di bangku paling luar. Alasannya, aku selalu merasa pengap setiap kali berada di dalam dan beberapa orang mulai merokok.  Irene duduk di depanku. Kami berdua memesan dua mangkuk sup iga.

“Sering ke sini?” Pandangan Irene mengelilingi warung sup iga yang terlihat sangat sederhana.

“Sebenarnya aku juga baru tahu sejak tinggal di apartemen itu. But, the taste never fails.”   

Irene tersenyum. Senyum yang sangat mempesona dan selalu membuatku meleleh setiap kali melihatnya. Aku mungkin terdengar sangat berlebihan, tetapi itulah yang selalu terjadi.

“Ren, boleh aku tanya sesuatu?”

“Ya.”

“Kenapa kamu selalu tampak bekerja lebih keras daripada yang lain? Ada sesuatu yang kamu kejar?”

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now