Dua Puluh

1.2K 115 3
                                    

Irene

Tanganku membuka-buka halaman majalah yang dibelikan Ervin tadi pagi. Dia bilang aku bisa mengisi waktu luangku dengan membaca majalah karena aku sudah bosan menonton televisi yang menayangkan channel lokal. Aku menutup majalah yang sudah aku buka hingga halaman terakhir. Lalu, aku melirik ke ponselku yang menunjukkan pukul 12 siang dan tidak ada satu pesanpun yang masuk. Mungkin, orang-orang di kantor sudah tahu kondisiku sehingga mereka tidak ingin mengangguku. Keenan juga sedang ada acara kantor di Jogjakarta sekalian dia akan mengunjungi adiknya. Sementara Ervin, dia sedang kembali ke rumah kost untuk mengambil beberapa baju lagi.

Aku lalu memilih untuk beranjak dari tempat tidurku. Langkah kakiku perlahan menuju ke pintu kamar. Satu tanganku masih menyeret tiang infus. Aku membuka pintu kamar dan melihat ke kanan dan ke kiri. Aku sedang ingin berjalan-jalan karena aku bosan berada di sini.

“Mau aku temani?”

Aku menoleh ke arah suara dan melihat Raya sedang berjalan cepat ke arahku. Bibirku langsung tersenyum saat melihatnya. Raya menggandengku dan kami berjalan menuju ke taman belakang rumah sakit.

“Kita duduk di sini, ya.” Raya membantuku untuk duduk di salah satu bangku taman. Taman ini cukup sejuk karena ada beberapa pohon rimbun yang menghalau sinar matahari.

“Kamu ada apa ke sini?” tanyaku seraya menatap Raya.

“Mengantarkan makan siang untuk William,” jawab Raya dengan senyum yang menunjukkan lesung pipitnya. Jika diamati, dia mirip sekali dengan Ervin, bahkan seperti Ervin dalam versi perempuan.

“Pasti menurutmu, aku mirip sekali dengan Kak Ervin.” Raya seolah tahu jika aku sedang mengamatinya dan membandingkan dengan kakaknya.

“Meski kami berdua besar terpisah, tetapi wajah kami memang sangat mirip.” Cerita Raya.

“Kenapa kalian terpisah?”

“Orang tua kami bercerai saat aku masih kecil. Aku ikut Mama di Jakarta, sedangkan Kakak ikut Papa di Jerman.  Dan sejak Mama meninggal, Kakak akhirnya pulang dan mengurusku. Dia harus bekerja keras untuk hidup kami berdua. Saat dia mendapatkan beasiswa di Amerika, dia masih harus bekerja part time agar bisa mengirimiku uang. Dia bahkan tidak lagi memikirkan usianya yang bertambah tua dan tidak memiliki siapapun yang mendampinginya,” lanjut Raya. Pandangannya menerawang pada daun-daun yang bergerak karena angin.

“Bukankah itu karena Katniss?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Selama ini aku berpikir jika Katniss masih terlalu menghantui hidupnya hingga dia tidak ingin berdekatan dengan perempuan manapun.

Raya menoleh padaku. Senyum tersungging lagi di bibirnya.

“Katniss memang menghancurkan hidupnya, tetapi dia tidak akan pernah membiarkanku hidup menderita.”

Aku mengerutkan kening mendengarnya.

“Saat itu, untuk pertama kalinya, aku melihatnya minum hingga mabuk dan selama beberapa hari tidak pernah ke luar kamar. Dia hampir dipecat dari firma hukum tempat dia bekerja karena selama hampir seminggu tidak masuk kerja. Hingga akhirnya, dia mau ke luar kamar saat aku menangis di depan pintu kamarnya dan mengatakan kalau aku merindukannya. Aku merindukan dia yang dulu, yang selalu memperhatikanku. Keesokan harinya, dia masuk kerja seperti biasanya dan menjadi Ervin yang selama ini aku kenal. Meski, aku masih sering melihatnya melamun namun dia tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depanku,” cerita Raya lagi

Aku tertegun. Hidup Ervin terdengar sangat berat. Saat dia sedih pun, dia tidak bisa menunjukkannya. Dia memilih untuk menyimpannya untuk dirinya sendiri hanya karena dia tidak ingin melihat adiknya menangis lagi. Dia menyimpan masalahnya dan tidak pernah mengungkapkannya pada siapapun, bahkan saat lukanya basah lagi karena kedatangan Katniss lagi dalam hidupnya.

In Between [END] [The Wattys 2020]Where stories live. Discover now