1 - Segelas Berdua (1)

11.2K 1.4K 187
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa untuk pencet tanda bintang di sudut kiri bawah layar ponselmu dan selalu beri dukungan untuk Leobra! Ayaflu!

=== Leobra===

Suara pantulan bola dan decitan sepatu memenuhi pendengaran Bara sore itu. Hari ini, Bara sedang melakukan sparring basket bersama teman-teman kampusnya. Ekor mata Bara melihat Redza yang memberikan passing padanya. Bara menangkap bola itu dan melakukan dribble. Namun, lagi-lagi ingatan tentang gadis itu mengusiknya.

Bara rasa otaknya sudah rusak bahkan ia bisa merasakan detak jantung yang meningkat. Hanya mengingat momen kecil itu benar-benar bisa membuat Bara hilang akal. Suara peluit di ujung lapangan membuat Bara terbangun dari khayalannya.

"Bar! Kenapa traveling, Anjir." Qori menepuk pundak Bara dan menampakkan wajah kesal.

Bara mengacak rambut sejenak. "Enggak mood gue," ujar lelaki itu sebelum berjalan menuju kursi di pinggir lapangan dan mengambil kotak rokok yang ada di dalam tas. Ia menyalakan rokok itu dan mulai menghisapnya pelan, membiarkan pikiran tentang gadis itu larut begitu saja.

Namun, beberapa saat kemudian, Bara menginjak rokok sebelum mengacak rambut. "Sialan," rutuknya, "harusnya gue minta nomornya."

Memori tentang pertemuan pertama dengan gadis itu selalu mengusiknya. Bisa dibilang, ia sudah jatuh pada pandangan pertama. Bara melirik Qori yang sedang mengobrol dengan Red. Ia terpikir untuk bertanya kepada Qori tentang Benadra.

Bara menggelengkan kepala, menghapus ide itu dengan cepat. Ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh Qori kalau itu terjadi. Yang pertama, adalah menertawakan Bara. Yang kedua, ia tak akan memberikan kesempatan pada Bara.

Bara melihat sendiri bagaimana Qori memperlakukan Benadra seperti adik sendiri. Betapa lelaki itu menghawatirkan Benadra saat gadis itu berkata akan menaiki ojek daring di malam hari, dan bagaimana Qori yang memberi pesan layaknya seorang ibu pada Benadra saat gadis itu pamit untuk memasuki indekosnya.

Lupain, Bara, cari jalan yang mudah aja.

***

Benadra langsung melompat turun tepat setelah Fikri memarkirkan motor di halaman ZRadio. Gadis itu melepas helm dan memberikannya kepada sang pengemudi. Tangan lelaki itu bergerak merapikan rambut Benadra yang terlihat kusut, membuat gadis itu memundurkan tubuh. "Rambut gue berantakan banget, ya?" tanyanya.

Fikri tersenyum seraya melihat Benadra yang sekarang sedang berkaca di jendela mobil yang terparkir di samping mereka. "Be."

"Hm?" Benadra mengalihkan pandangan.

"Enggak mau jawab yang waktu itu?" Fikri menatap gadis itu penuh harap, mengingat Benadra yang masih menggantungkan jawaban atas perasaan yang ia nyatakan beberapa hari lalu.

Sementara gadis itu balik menatapnya dengan pandangan yang tak dapat dijelaskan. "Bang ... waktu itu lo bilang nggak akan bahas lagi."

"Lo masih belum mau nerima gue ya?"

Benadra menunduk. "Bukan gitu. Gue nggak bisa." Jemarinya bertaut, perasaan gugup dan tidak enak bercampur jadi satu.

"Gue boleh tau alasannya?" Fikri memajukan langkah sebelum berbisik pelan. "Biar gue bisa mundur."

Gadis itu menggeleng. "Bukan salah lo, lo nggak ada salah apa-apa."

"Kalau nggak ada yang salah dari gue, artinya gue tetap bisa maju buat lo, 'kan?"

Benadra diam. Kalau seperti ini caranya, bukankah akan jauh lebih menyakitkan bagi mereka?

Bukannya Fikri lelaki yang tidak baik, tapi Benadra yang belum bisa membuka diri. Namun, kalau dibiarkan seperti ini, bukankah Fikri akan menjadi salah paham?

Leobra ✔️Where stories live. Discover now