7 - Garis Terdepan

5.4K 734 57
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa untuk pencet tanda bintang di sudut kiri bawah layar ponselmu dan selalu beri dukungan untuk Leobra! Ayaflu!

=== Leobra===

Lagi-lagi lemparan Bara masuk dengan mulus ke ring basket. Lelaki itu berkacak pinggang, merenggangkan lehernya ke kiri dan ke kanan. Lalu ia mengibaskan kedua tangan, berusaha mengusir rasa pegal yang mulai menjalar.

Qori menunduk memegang lutut, ia menarik napas sejenak. Hari ini Bara benar-benar seperti orang gila. Lelaki itu tidak berhenti merebut bola dan melakukan serangan ke daerah lawan. Qori tahu, Bara memang ahli bermain basket, apalagi didukung dengan tubuh tingginya. Namun, Bara yang sekarang jauh lebih ganas dari biasa.

Mata Qori melirik Benadra yang duduk di sisi lapangan. Mata gadis itu menatap sendu ke arah Bara. Sementara yang ditatap masih berlarian lincah seperti kesurupan.

Redza menepuk tangan, tanda waktu bermain sudah habis. Para pemain menghela napas dan mulai berlarian ke sisi lapangan. Bara mengacak rambut yang basah karena berkeringat lalu berjalan ke arah Benadra yang mendongak menatapnya.

"Nih." Tangan Benadra terangkat menyodorkan sebotol air mineral untuk Bara. Senyum Benadra mulai luntur, seiring dengan Bara yang tidak menyambut air mineral darinya.

"Enggak usah liat-liatan, kali." Dengan satu gerakan, Qori langsung menyambar air minum yang ada di tangan Benadra dan mengambil posisi duduk di samping Benadra. Ia menjulurkan kaki, tangannya ia gunakan untuk mengibaskan kerah kaus. "Kayak bocah baru ketemu aja."

Bara mengacak rambut sebelum kemudian tertawa kecil. "Gue misah dulu, deh, mau ngerokok." Lelaki itu menunduk, mengambil dompet dan kotak rokok yang ada di samping Benadra. Sekilas, Bara melihat raut wajah Benadra yang sedikit berubah, membuat lelaki itu mengacak rambut Benadra sebelum berlalu.

Benadra menggigit bibir, seharusnya ia tak perlu merasa kecewa kalau Bara pergi setelah mengetahui hal buruk tentang dirinya. Toh dari awal Benadra sudah mengantisipasi hal itu. Namun, melihat Bara yang berbalik pergi seperti ini membuat hati Benadra berdenyut nyeri.

"Kenapa kalian berdua?" Qori bertanya tiba-tiba. Ekor matanya melirik Bara yang berjalan menjauh. Qori meneliti ekspresi Benadra. "Apa?" Lelaki itu menaikkan satu alisnya.

Benadra memutar tubuhnya mengadap Qori. Sedikit merapat, menunjukkan tangan kirinya pada lelaki itu. "Harusnya ... gue nggak boleh ngebiarin Bara buat deketin gue ya, Qoi. Harusnya gue sadar diri, bukannya malah ngeladenin dan jadi terbiasa sama dia. Harusnya gue siap, kalo nggak mungkin ada orang yang bisa nerima keadaan gue. Pasti gue menyedihkan banget."

Qori menahan tangan kiri Benadra dan membawa tangan mungil itu ke genggamannya. Sesaat ia menatap Benadra, dan seluruh perasaannya terasa campur aduk menjadi satu hingga tersisa dua hal yang harus ia pilih, tetap menjadi Qori yang seperti biasanya atau mengeluarkan semua keegoisan yang ia punya.

"Nggak akan ada manusia waras di dunia ini yang nganggep lo menyedihkan," lirih Qori.

Dan kalaupun ada yang bilang lo menyedihkan, nggak akan pernah gue biarin orang itu ada di dekat lo.

"Kalau dia benci gue ... gimana ...." Benadra menghela napas, ia menatap Qori dengan mata yang berkaca-kaca. "Gue seneng bisa bareng sama dia."

Setitik cairan bening sukses jatuh dari sudut mata Benadra bersamaan dengan Qori yang sudah kehilangan harapan kecilnya.

***

Benadra menatap ponsel ditangan. Matanya fokus pada peta yang ditampilkan oleh layar ponsel itu. Sesekali, ia mengeluarkan suara, mengarahkan pengemudi ojek yang sekarang sedang mengantarnya.

Leobra ✔️Where stories live. Discover now