18 - Hujan di Mimpi (2)

3.3K 510 22
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa untuk pencet tanda bintang di sudut kiri bawah layar ponselmu dan selalu beri dukungan untuk Leobra! Ayaflu!

=== Leobra===

Gadis kecil itu memperlambat langkah, kemudian berhenti, meringkuk di lorong gelap yang diapit dua ruko yang tak terlalu tinggi. Peluhnya mulai berjatuhan satu per satu, menyisakan jejak basah dan rambut yang luruh menutupi wajah. Tubuhnya bergetar, kakinya rapuh, matanya kosong, sudah tak mampu bertahan untuk berpijak.

Ia luruh, jatuh dengan napas yang mulai menggebu. Ia gigit bibirnya kuat-kuat, tak ingin suara tangisnya didengar oleh orang lain di muka bumi. Ia merapatkan kain batik lusuh yang digunakan untuk menutup tubuhnya. , pakaiannya lusuh, robek di beberapa bagian. Rintihan kecil perlahan keluar kala ia melihat kakinya yang terluka juga jejak darah yang mengalir di kedua kakinya.

"Kamu nangis lagi?"

Gadis kecil itu mendongak, menampakkan wajahnya yang sudah basah dengan peluh dan air mata. Ia menemukan seorang lelaki yang tengah menunduk ke arahnya. Tangan lelaki itu bergerak ke arahnya, ingin menyentuh rambut gadis kecil itu yang berantakan, membuat gadis itu beringsut mundur.

Lelaki itu melangkah mundur sebelum ikut duduk di aspal. "Kayaknya ... yang kali ini makin parah ya? Nggak mau coba lawan?"

"Nggak bisa ... Ben takut." Suara itu lebih terdengar seperti bisikan halus dengan nada terendah. Mungkin bisa membuat bulu kuduk meremang bila lelaki itu tidak menyadari kalau suara itu berasal dari gadis kecil di depannya.

Lelaki itu tertawa. "Sudah berapa kali kita ketemu dan kamu tetap kayak gini. Tapi aku nggak akan menyangkal kalo terkadang ... hidup itu nhgak adil." Mata lelaki itu menerawang menatap langit. Ia mengalihkan pandangannya pada gadis itu, kemudian tersenyum. "Mau coba sesuatu? Mungkin kamu akan suka."

***

"Benadra! Jangan lari!"

"Enggak akan ada yang peduli. Ibumu nggak di sini."

"Salah sendiri kenapa Ria harus punya anak perempuan seperti kamu. Salahkan ibumu, bukan aku."

Benadra membanting pintu toilet dan menguncinya. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai bersamaan dengan tangis yang jatuh perlahan. Seragam putih-birunya sudah tak karuan, kotor dan sobek di beberapa bagian.

Tangannya bergerak menjambak rambut, seiring dengan teriakan yang tertahan. Suara lelaki tua sialan itu seakan bergema di kepala. Rasanya, tubuh Benadra masih merasakan semuanya, ditampar, dibanting, hingga diperlakukan seperti binatang oleh seseorang yang tidak pernah ia harapkan untuk ada di rumah.

Tanpa ada lelaki tua itu pun, rumah sudah terasa menyesakkan untuk Benadra. Cacian yang ia terima dari paman dan bibi bermulut sampah, lirihan nenek yang selalu tak berdaya, dan ibu yang selalu menerima apa adanya sudah cukup untuk membuat napas Benadra tercekat.

Benadra tak butuh lelaki tua itu! Benadra tak butuh kehadiran ayah baru di hidupnya. Gadis itu tak habis pikir kenapa ibunya tak pernah dipertemukan dengan lelaki yang pantas. Kalaupun pada akhirnya itu semua terjadi semata-mata karena ingin memberikan kebahagiaan untuk Benadra, ia tak butuh itu. Benadra tak pernah membutuhkan ayah.

Gadis itu menatap tangannya yang masih gemetar. Masih mengingat bagaimana ia terpojok hingga disentuh sedemikian rupa. Masih mengingat kejadian malam itu, bagaimana ia diperlakukan sampai merasa dunianya hancur seketika. Semua kejadian buruk itu berulang seperti sebuah loop yang ia rasa tak mungkin berhenti.

Leobra ✔️Where stories live. Discover now