22 - It's not Easy (1)

3.4K 481 30
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa untuk pencet tanda bintang di sudut kiri bawah layar ponselmu dan selalu beri dukungan untuk Leobra! Ayaflu!

=== Leobra===

Benadra masih ingat bagaimana ekspresi Bara saat lelaki itu memberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Wajah lelaki itu tampak bingung, sebelum mengeluarkan tawa rendah yang membuat Benadra merinding. Bahkan lelaki itu tidak menangis ataupun mengeluarkan satu pun ekspresi yang cukup wajar menurut Benadra.

Benadra masih ingat bagaimana lelaki itu mengendarai mobil dengan cepat, tapi tak terkesan panik ataupun terburu-buru. Benadra masih ingat bagaimana dingin tangan lelaki itu saat ia menggenggamnya, membuat ia berpikir bahwa Bara bisa saja jatuh begitu saja.

Namun, lihat Bara sekarang. Lelaki itu berbicara dengan santai pada para dokter dan staf rumah sakit. Sesekali lelaki itu mengangguk dan membungkukkan badan untuk berterima kasih pada dokter dan perawat yang telah berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan ayahnya.

Pandangan Benadra beralih pada tubuh yang diselimuti kain putih dan terbujur kaku di ranjang rawat. Sama sekali tidak ada yang menduga kalau hal ini akan terjadi. Serangan jantung datang begitu saja, membuat ayah Bara jatuh selepas makan malam.

Benadra menggigit bibir, air matanya terasa menggumpal di pelupuk mata. Padahal, Bara baru saja merasa bahagia. Mereka baru saja merasa bahagia. Mereka baru saja, berharap agar kebahagiaan mereka bertahan lama. Namun, semesta sepertinya terlalu gatal untuk menyentil semua senyum ganjil yang terukir di bibir manusia.

Benadra melebarkan mata saat melihat Bara yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu masih menggunakan kemeja yang sama, dengan rambut masih tertata rapi, membuat Benadra masih bisa memperhatikan dahi dan mata sipit lelaki itu yang memandangnya lembut.

Bara tersenyum sekilas pada Benadra, mengacak lembut puncak kepala gadis itu saat melihat bagaimana Benadra terus menggenggam erat tangan Ibunya sejak tadi. Bara berlutut di lantai, kedua tangannya bergerak untuk memegang erat kedua lengan Ibunya yang duduk di samping Benadra.

"Ma, kita bakal bawa pulang papa sebelum subuh. Aku ke administrasi dulu, ya. Mama istirahat di sini sama Benadra. Nanti biar aku yang kabarin saudara yang lain."

Benadra menengadahkan kepalanya, ia tak bisa membiarkan air matanya keluar sekarang. Suara Bara terdengar begitu lembut sekaligus menenangkan, membuat Benadra menekan mati-matian spekulasinya tentang betapa hancur Bara di dalam sana.

"Bara ...." Sarah sudah tidak dapat mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia hanya bisa menahan tangis sekuat tenaga, walaupun tetesan cairan bening itu tetap keluar dari sudut matanya.

Bara mengarahkan tangannya untuk menghapus jejak air mata di wajah Sarah. Menatap wajah itu dengan lembut, berharap kalau semuanya akan menjadi lebih baik, terutama untuk wanita yang paling ia cintai sekarang. "Mama yang kuat. Papa sekarang udah sehat, papa udah nggak sakit lagi. Sekarang kita nggak boleh berlarut-larut, papa nggak akan suka itu."

Lelaki itu menegakkan tubuhnya, mengalihkan pandangannya pada Benadra, dan meremas bahu gadis itu pelan. "Maafin aku. Aku titip mama dulu, ya."

Benadra mengangguk kecil dan menatap punggung tegap milik lelaki itu menjauh.

Lo nggak jujur, Bara.

***

"Bara mana?"

Qori mengatur napas yang masih pendek-pendek karena berlari sekuat tenaga dari lobi rumah sakit sampai ke ruang rawat tempat ayah Bara diobati tadi. Sementara Redza yang menyusul di belakang lelaki itu langsung terduduk seketika di lantai seraya mengatur napas.

Leobra ✔️Where stories live. Discover now