#2 - Yang Kedua

748 150 2
                                    

Roseanne adalah anak yang teramat taat aturan. Katanya sebuah aturan dibuat pasti untuk sebuah tujuan yang baik jadi berbekal stigma demikian Roseanne atau akrab disapa Rosé sesekali Rosie hidup dalam pola yang begitu teratur. Seolah hidupnya memang untuk mengikuti sistem yang ada. Dan ketika alur hidupnya tak sesuai sistem yang telah ia buat. Rosé jadi kewalahan. Ingin memarahi pun ia harus marah pada siapa. Pada bunda yang tidak membangunkannya? Pada ayah yang lembur hingga tak pulang sejak kemarin? Pada sang adik yang dengan jahil mematikan alarm di ponselnya? Atau pada sang kakak yang semalaman merecokinya dengan meminta Rosé ikut tampil dalam vlog untuk konten youtube sang kakak walau Rosé sudah menolaknya mentah-mentah. Kakaknya beralasan jika ia membuat konten bersama Rosé hanya untuk memenuhi permintaan pengikut sosial medianya. Sang kakak hanya ingin menunjukan betapa cantiknya adik-adik yang ia miliki. Hanin yang masih duduk di sekolah menengah pertama sama sekali tidak keberatan. Adiknya justru menyambutnya dengan suka cita. Berbeda halnya dengan Rosé. Jika kak Joy sangat suka menjadi pusat perhatian dan Hanin yang memang mudah sekali bersosialisasi maka lain halnya dengan Rosé. Ia sama sekali tak suka menjadi pusat perhatian ditambah Rosé memang sulit bersosialisasi. Lingkup pertemanannya pun kecil. Tapi si sulung sepertinya selalu punya jurus jitu untuk meluluhkan Rosé. Hanya dengan menawarinya lensa kamera keluaran terbaru. Rosé pasti akan luluh. Terkutuklah jiwa fotografi Rosé.

Bukan apa-apa. Hanya saja kakaknya merupakan salah satu youtuber yang sudah cukup terkenal di dunia maya. Itu artinya tidak hanya satu-dua orang yang akan menonton konten video sang kakak. Bayangkan saja jumlah subcriber youtube kak Joy hampir menyentuh angka seratus lima puluh ribu dan bayangkan berapa pasang mata yang akan melihat wajah Rosé wara-wiri di video. Membayangkannya saja Rosé tak sanggup apalagi jika ternyata dari ratusan ribu itu ada akun milik siswa di sekolahnya. Kepala Rosé tiba-tiba pusing.

"Lho kamu Roseanne 'kan? Si pintar dari kelas IPA?"

Sesungguhnya Rosé tidak begitu menyukai panggilan itu. Bagi Rosé ia bukan si pintar dari kelas IPA masih ada anak pintar lain seperti contohnya Gabriel si peraih juara ketiga OSN atau Sarah si maniak matematika. Rosé hanya kebetulan beruntung masuk ke kelas IPA satu yang diisi oleh siswa-siswa jenius.

"Tumben sekali Bapak lihat wajah kamu di antara wajah para pemalas-pemalas ini?"

Pak Haidar menunjuk barisan siswa terlambat di belakang Rosé.

"Sana kamu masuk ke barisan."

"Iya Pak."

Sebuah kepala tiba-tiba menyembul membuat Rosé hampir saja berteriak karena terkejut.

"Yang kedua." Chandra membuka suara.

"Hah?" Rosé mau tak mau menatap dengan wajah kebingungan. Bertemu kembali dengan anak laki-laki yang mengaku sebagai atlet panahan itu adalah sebuah bencana. Sesungguhnya Rosé selalu membentengi diri dengan para kaum adam. Pun bukan tanpa sebab. Ia bukanlah seseorang yang mengejar kenangan indah masa SMA. Di mana masa itu pasti diisi oleh cinta monyet dan sejuta tingkah remaja yang masih dalam masa pubertas. Ia tak peduli dengan itu. Ia hanya ingin menghiasai masa remajanya dengan hal yang lebih berguna. Baginya masa remaja adalah masa penentu. Masa di mana masa depannya mulai dirajut. Tak peduli jika ia dianggap aneh. Rosé memang tak ingin menjadi remaja kebanyakan. Jatuh hati hanya akan membuatnya tak berdaya. Diperdaya oleh cinta lalu menangis seharian ketika patah hati. Ia tak ingin mengalami hal seperti itu.

"Pertemuan kita yang kedua. Tinggal satu kali pertemuan lagi nih." Chandra memasang wajah super jenaka dengan satu alis yang sengaja di naik-turunkan. Kebetulan anak itu berdiri tepat di belakang Rosé.

Memilih tak menanggapi, Rosé berpura-pura mendengarkan ceramah pak Haidar walau tidak bisa karena Chandra terus saja mencerocos seperti petasan lebaran. Tidak bisakah hukuman segera dilakukan. Rosé tak ingin waktu belajarnya kian terbuang percuma walau ia tahu keterlambatannya adalah kesalahan seratus persen yang ia perbuat. Menodai label siswa baik-baik tanpa catatan buruk selama masa sekolah. Rosé tak akan berusaha menyangkal walau catatan putih masa sekolahnya mulai ternodai.

"Satu kali lagi lo jadi pacar gue dong."

"Enak aja!" balas Rosé tanpa sengaja meninggikan suaranya. Karena itu ia dianggap telah menyela ceramah super panjang pak Haidar.

"Jadi kamu nggak terima dihukum bersihin aula?" suara pak Haidar menyahuti. Sialnya Chandra justru tertawa seolah senang Rosé ditegur oleh guru bk mereka.

"Bu ... bukan gitu Pak."

"Ya sudah khusus buat kamu bersihin toilet guru saja ya," tandas pak Haidar.

Rosé jelas tak terima. Jika membersihkan beramai-ramai ia tak akan keberatan karena waktu hukuman pun pasti meringan dan ia tak perlu membolos pelajaran pertama tapi jika harus membersihkan sendirian. Jelas Rosé tak mau. Pasti butuh waktu lama untuk membersihkan toilet guru dan ia akan semakin lama membuang waktu belajarnya. Sekali lagi. Harapan untuk tidak menodai catatan masa sekolahnya hanya tinggal harapan. Rosé tak bisa menghindar dari sebuah hukuman.

"Tapi Pak-"

"Nggak ada protes Roseanne."

Rosé menghela napas frustrasi.

Tapi tak lama Chandra tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya dan pak Haidar baru menyadari ada atlet di antara barisan siswa terlambat.

"Ada apa Chandra? Wah akhirnya kamu ingat kewajiban kamu buat sekolah ya."

Chandra mendengus. Rosé tak paham kenapa anak laki-laki itu terlihat kesal. Yang jelas. Sepertinya anak laki-laki itu tak suka dianggap sebelah mata. Sungguh, penggambaran yang sesuai dengan jati diri remaja yang sesungguhnya.

"Saya ikut bersihin toilet guru juga, boleh 'kan Pak?"

Secara otomatis badan Rosé berbalik lalu memasang wajah super galak tapi diabaikan oleh Chandra.

Apa-apaan?

"Asal kamu nggak kabur."

Sebuah dengusan lolos dari mulut seorang Roseanne ketika Chandra bersorak senang. Seolah hukuman bukanlah sesuatu yang buruk. Rosé tak habis pikir dengan tingkah aneh menyerempet idiot seorang yang katanya atlet panahan. Dari mana adanya gambaran atlet panahan jika yang ada hanya wajah konyol berbalut tingkah aneh. Chandra menurutnya lebih pantas disebut atlet kepanasan daripada atlet panahan.

"Pak."

Roseanne mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya.

"Apa Roseanne? Mau protes? Tinggal protes aja dan hukuman kamu bakal Bapak tambah."

Pak Haidar berdiri tegap dengan tangan bersidekap dan tatapan mengintimidasi. Nyali Rosé jadi ciut.

"Sudah cukup Pak. Makasih atas hukumannya," balas Rosé setengah kesal.

Chandra masih berdiri di sana. Bergerak heboh karena berhasil mendapat waktu berdua dengan gadis kaku yang baru ia tahu namanya.

Roseanne.

Nama yang cantik. Secantik yang menyandang nama.

"Bisa diam nggak sih? Kamu kayak cacing yang dikasih garam."

Dan gelak tawa terdengar bersahutan sesudahnya. Tak sadar jika Chandra sudah malu setengah mati. Untung saja yang mengatakannya Rosé jika bukan sudah pasti akan ia hajar.

 Untung saja yang mengatakannya Rosé jika bukan sudah pasti akan ia hajar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Panah Rasa (BangRosé) | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang