#32 - Datang dan Pergi

282 62 4
                                    

Tepat pukul tujuh lebih lima menit gerbang sekolah di tutup oleh satpam. Chandra yang berada di sebrang jalan menghela pasrah. Mungkin membolos adalah pilihan terbaik. Baru saja berbalik hendak pergi, ia sudah dikejutkan oleh sosok Roseanne yang berdiri menatapnya. Chandra jadi salah tingkah sendiri.

"Gerbangnya udah ditutup ya?"

Chandra mengangguk.

"Eh mau ke mana?" Chandra bingung ketika Rosé justru berjalan ke arah sekolah. Jelas jika ketahuan terlambat maka hukuman sudah pasti menanti keduanya padahal menghindar adalah opsi yang terbaik. Mungkin terbaik hanya bagi Chandra.

"Sekolah."

"Tapi gerbangnya udah ditutup."

"Ya tinggal minta Pak Praja bukain," balas Rosé enteng.

Chandra menghela napas lantas mengikuti gadis itu. Rencana membolosnya gagal. Ia tidak tega membiarkan Rosé dihukum seorang diri.

"Sendirian? Biasanya bareng si tinggi itu."

Mulut Rosé yang sudah bersiap memanggil Pak Praja kembali mengatup. Balas ditatapnya Chandra.

"Jayden?"

Kepala Chandra terangguk.

"Nggak berangkat. Lagi ada keperluan." Rosé menjawab.

"Oh."

Canggung lagi. Chandra kesal ketika kecanggungan justru yang datang. Kedekatan yang dulu mereka rasakan entah pergi ke mana.

"Pak Praja!" Roseanne memanggil nama satpam sekolah.

Tak apa. Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan Chandra terlepas dari hukuman yang menanti. Jadi tak apa walau masih ada selimut canggung di antara dirinya dan Roseanne asal hari ini takdir membiarkan mereka saling bertemu.

***

"Kamu istirahat aja, sisanya biar aku yang bersihin." Rosé terlihat tak tega karena Chandra hanya bisa menggunakan satu tangan. Chandra menurut. Lelaki itu duduk di pinggir lapangan dan membiarkan Rosé menyapu sisanya.

Daun kering telah selesai terkumpul di pinggir. Karena bel telah berbunyi sejak gerbang ditutup. Suasana begitu sepi. Semua siswa sudah memulai kegiatan belajar di dalam kelas.

"Duduk dulu sini."

Rosé hendak menolak, tetapi Chandra sudah kembali bersuara.

"Bolos sekali-kali nggak papa Rosé. Nggak akan bikin lo tiba-tiba jadi siswa kelas sepuluh lagi."

Pada akhirnya Rosé ikut duduk di sebelah Chandra. Chandra membenarkan posisi duduknya.

"Gue juga dulu lempeng banget kayak lo. Maksudnya ya gitu. Hidup gue monoton banget. Sekolah terus latihan terus pulang, ya udah gitu aja terus sampe gue bosen. Gue kayak nggak ngasih jeda diri gue sendiri buat menikmati hidup selain sekolah sama latihan." Chandra mulai bercerita tanpa diminta. Seolah lupa jika beberapa hari belakangan hubungan keduanya terasa canggung.

"Tapi aku nggak kayak kamu," balas Rosé.

Chandra menatap tak paham.

"Masa depan kamu itu jelas. Kamu atlet. Sementara aku itu masih berusaha untuk mendapat masa depan yang baik. Kalau aku cuma main-main, aku takut. Aku nggak tahu nantinya bakal kayak apa masa depan aku." Rosé ikut menyuarakan pikiran.

"Sebenarnya, dari pada itu. Alasan lo ambis itu karena lo mau diakuin sebagai bagian dari keluarga Prasaja 'kan? Gue waktu itu nggak sengaja denger cerita lo ke Ayah," ucap Chandra.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang