#12 - Memora Magazine

394 90 1
                                    

Suasana ruang redaksi majalah tidak sekondusif biasanya. Semua orang di ruangan sedang bergulat dengan peranti komputer maupun laptop. Waktu istirahat mereka gunakan untuk mengejar deadline sehingga botol minum dan kantung cemilan serta plastik makanan memenuhi meja. Ayudia sengaja duduk di dekat kipas angin dengan mata yang tak lepas dari komputer tua milik redaksi. Hanya agar seragam sekolahnya tidak bermandikan keringat.

"Kapan sih ruang redaksi punya AC? Panas banget," keluh Ayudia.

"Nggak tahu. Kayaknya nggak akan pernah punya deh sampai kita lulus sekali pun," jawab Keanu.

Dalia yang juga sibuk dengan laptop dipangkuan sedikit melirik ke arah dua orang tersebut, "Gue lagi usahain pengajuan AC ke kepala sekolah. Sabar ya."

"Terbaik memang Redpel kita!" puji Ayudia.

"Guys. Lihat deh desain sampulnya, gimana menurut kalian?" sela Erwin.

"Nanti aja Win, sibuk," sahut Keanu membuat Erwin mendengus lantas kembali fokus ke layar laptop.

"Li, beneran ini harus gue revisi? Nggak usah aja ya, Li. Udah bagus kok." Ayudia memutar kursinya. Lantas menatap Dalia dengan pandangan memohon.

"Belum Yu, masih ada yang kurang, coba sih baca ulang," sahut Dalia.

"Iya deh,"jawab Ayudia pasrah.

Rosé melepas kacamata minusnya. Mengistirahatkan mata lelahnya setelah terus berhadapan dengan layar komputer. Melihat semua orang yang sedang serius pada pekerjaan masing-masing hingga tak lama pintu ruangan terbuka.

"Ngapain ke sini? 'Kan biasanya lo tinggal nunggu beresnya aja," ucap Dalia sinis pada Doni yang sudah duduk di sofa ruangan.

"Gue juga penanggung jawab kalau lo lupa. Gue juga berhak di sini," balas pemuda itu.

Dalia tak peduli. Gadis itu kembali fokus ke layar laptop.

"Bentar lagi pasti ribut, tontonin aja sih," bisik Ayudia pada Rosé yang kebetulan duduk paling dekat dengannya.

Rosé menyikut Ayudia pelan. Tak suka dengan ucapan gadis itu. Walau ia mulai merasa suasana menjadi begitu tegang.

"Hargain gue dong sebagai pemred," ucap Doni.

Dalia kembali menatap sinis.

"Iya terus aja gunain alasan itu buat berbuat seenaknya. Emangnya selama ini lo punya andil sama majalah ini? Pas kepala sekolah mau nutup redaksi, siapa yang mati-matian mempertahanin?"

"Iya. Elo. Lo orangnya Dalia. Lo yang berdiri di barisan paling depan waktu kepsek bikin wacana pembubaran redaksi," jawab Doni. "Tapi bukan berarti gue nggak punya andil apa-apa sama redaksi."

"Emang kenyataannya gitu kok," balas Dalia tak kalah sengit.

"Eh eh. Udah dong. Jangan ribut. Nggak enak tahu kalau ada masalah internal di grup. Mending lihat desain sampul gue deh," sela Erwin.

"Bukan waktunya, Dong Sicheng! Nanti aja!" Kalau Dalia sampai harus memanggil nama lengkap sudah pasti gadis itu sedang benar-benar diselingkupi amarah. Terakhir melihat Dalia mengamuk adalah ketika Erwin tak sengaja menghapus file artikel untuk edisi terbaru yang parahnya sudah tenggat dua hari lagi.

"Apa? Mau ngatain kalau gue cuma manfaatin jabatan? Emangnya selama ini yang ngehandle penerbitan majalah itu siapa?" ucap Doni.

Ayudia dan Rosé saling berpegangan tangan entah untuk tujuan apa. Yang jelas mereka takut jika permasalahan ini akan berpengaruh pada redaksi. Sedang Keanu sudah menepuk dahinya tak habis pikir. Ketika Dalia dan Doni dipertemukan mereka hanya akan berujung saling ribut.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now