#19 - Archer Boy

380 67 2
                                    

"Nice shot! Good job, Chandra!"

Senyum Chandra merekah tatkala seruan itu terdengar ke rungunya. Kejurnas mungkin masih jauh sekali pelaksanaannya akan tetapi latihan rutin masih berjalan justru semakin ketat. Buktinya jika biasanya latihan hanya diadakan sehabis pulang sekolah maka jika ada perlombaan, pagi hari pun digunakan untuk berlatih dan ya Chandra harus kembali puas namanya diberi tanda izin untuk kesekian kalinya.

Hari semakin menjelang siang, matahari makin bersinar terik. Keringat sudah mulai bercucuran di dahi Chandra. Chandra menepi untuk menghilangkan dahaga.

"Biasanya kamu males latihan. Akhir-akhir ini kenapa semangat banget? Pasti alesannya bukan karena kamu mau tanding di kejurnas, kan?"

Pelatih duduk di sebelah Chandra.

"Saya juga nggak tahu, Pak. Selama ini saya suka ngerasa ada yang ngeganjal di dalem hati. Kayak rasa yang sulit banget saya jelasin. Pikiran saya seolah berkata buat apa saya latihan keras, nggak berguna toh kamu cuma banggain diri kamu sendiri. Tapi akhir-akhir ini suasana hati saya lagi seneng jadi berpengaruh juga sama latihan," cerita Chandra.

"Untuk pikiran seusia kamu itu wajar sih. Remaja kayak kamu pasti gampang terdistrak karena sesuatu dan berakhir kamu bosen sama rutinitas yang selama ini kamu jalanin. Nggak apa kalau kamu ngecoba hal baru dan istirahat sebentar. Tapi kalau panahan adalah jalan kamu. Terus bertahan sama jalan ini."

Kepala Chandra tertunduk, pembicaraan dengan sang ayah beberapa hari lalu kembali terngiang. Masuk Akmil mungkin bukan kehendaknya pun dengan sekolah bisnis. Sebenarnya Chandra belum tahu akan jadi apa kelak. Anak itu belum menemukan jalannya sendiri. Ia pun memikirkan untuk masuk Akmil saja karena ia telah memiliki sedikit dasar menjadi tentara mengingat ia merupakan harapan satu-satunya keluarga Bagaskara karena sang adik memiliki riwayat asma yang tentu saja tak bisa masuk menjadi tentara karena riwayat penyakitnya. Dilain sisi ia mulai menikmati perannya sebagai atlet panahan. Sungguh, pikiran Chandra sangat bercabang. Ia tak tahu jalan mana yang harus ia pilih.

Pelatih tiba-tiba saja mengelus pundaknya, "Suatu hari kamu pasti akan menghadapi pilihan sulit yaitu untuk tetap pada karir atletmu atau karir lain yang lebih baik buat masa depan kamu. Dan saat hal itu datang, tolong pikirkan dengan baik-baik. Apa pun jalan yang kamu pilih jangan pernah menyesalinya."

Sekarang kepala Chandra makin terasa pusing.

***

Chandra masuk ke dalam kelas ketika pergantian jam keenam. Sudah tidak heran jika anak itu dapat masuk kapan pun karena diberi konpensasi jam pelajaran. Sebenarnya Chandra sudah ditawari masuk sekolah khusus atlet bahkan mendapat beasiswa penuh namun anak itu menolak. Saat itu Chandra hanya sekadar menyukai panahan dan tak berkeinginan menjadi atlet itu sebabnya ia memutuskan masuk sekolah umum. Pun sepertinya ia harus mensyukuri pilihan itu karena berkat masuk sekolah umum ia dapat bertemu dengan Rosé.

"Ngapain di sini?"

Chandra menaruh tas besar berisi busur di dekat bangku yang sedang diduduki Rosé. Alasan Chandra memilih Nuta pun karena sekolah ini memiliki ekskul panahan. Ada lapangan khusus untuk berlatih panahan dilengkapi gazebo untuk beristirahat. Dan aneh rasanya mendapati Rosé yang sedang membenahi kacamata yang sedikit melorot dengan layar laptop yang menyala di gazebo karena memang jarang sekali mendapati siswa sekolahnya mengunjungi lapangan panahan kecuali anggota ekskul.

"Kamu ngikutin aku ya?"

Bukannya menjawab. Rosé justru balik bertanya.

"Siapa yang ngikutin lo?"

"Kamu."

Anak laki-laki itu berdecak, "Ini lapangan panahan. Dan gue ke sini mau latihanlah."

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now