#9 - Serbuan Kupu-kupu

455 101 2
                                    

Mata itu masih setia melihat gerak-gerik gadis berambut panjang dengan sweater merahnya tanpa merasa sukar. Memperhatikan bagaimana gadis itu sesekali mengangkat kamera dan memotret momen apa saja yang sekiranya layak diabadikan. Sesekali membantu para perawat membagikan krayon warna dan selembar gambar. Tak paham kenapa memperhatikan gadis itu jauh lebih menyenangkan dari pada melihat rintik hujan yang masih betah turun menjumpai bumi.

"Udah mau maghrib. Kapan kelarnya sih?" tanya Chandra dengan wajah malas.

"Kok masih di sini?!"

Senyum Chandra terpatri. Samar-samar tergelitik geli melihat wajah terkejut Rosé yang menggemaskan. Sudah jelaskan setiap ekspresi yang ditunjukan gadis itu selalu berhasil membuat sekumpulan kupu-kupu berterbangan mengelitiki perut Chandra. Anak laki-laki itu pun tak paham apa namanya. Apa nama fenomena yang terjadi pada diri Chandra itu acap kali ia berdekatan dengan gadis bernama Rosé. Selalu ada saja sesuatu dalam diri gadis itu yang membuat Chandra merasa penasaran. Seolah ada daya tarik tak terlihat yang membuat Chandra selalu merasa ingin di dekat gadis itu.

Setelah selesai. Keduanya duduk sambil menatap rintik hujan. Tak paham kenapa ada jurang bernama kecanggungan di antara mereka. Tak paham pula kenapa Chandra yang biasanya memiliki banyak topik obrolan menjadi bisu.

"Makasih."

Chandra melirik Rosé dengan wajah terkejut yang tak bisa ia tutupi. Sejujurnya ia yakin jika sebenarnya Rosé merupakan gadis friendly dan murah senyum yang menjadi canggung dan pendiam pada orang yang baru ditemui.

"Makasih karena kamu udah buat anak-anak ketawa bahagia apalagi dengan rubber duckie kamu. Itu ngehibur banget," ucap Rosé tulus.

Kegiatan mendongeng telah berakhir. Anak-anak telah kembali ke kamar mereka masing-masing untuk beristirahat. Kini sambil menunggu hujan tak turun deras. Rosé dan Chandra tengah duduk sambil menatap langit gelap.

"Sama-sama."

Ingin hati mengutuk diri. Karena hanya jawaban singkat yang bisa Chandra berikan. Ia tak tahu kenapa susah sekali memulai obrolan padahal sebelum-sebelumnya pun tidak seperti ini. Seolah ada gumpalan ragu yang membawa pergi semua kata dalam kamus pembendaharaan katanya.

Keduanya lantas sama-sama diam. Kanvas langit terlihat muram. Hitam tanpa ada setitik cahaya. Hanya air hujan yang terus turun membasahi bumi. Dan karena itu kecanggungan terus saja betah menemani keduanya.

"Eum. Anu. Omong-omong lo nyadar nggak sih ini pertemuan ketiga kita?"

Entah bagaimana bisa hanya dengan sebuah tatapan membuat Chandra seketika menjadi gugup.

"Pas pertandingan?"

"Itu nggak dihitung karena lo sengaja mau ketemu gue."

Rosé masih menatap Chandra. Tak sadar jika tatapannya telah membuat yang ditatap merasa gerah luar biasa padahal angin bertiup dingin.

"Jadi ini hari pertama kita."

"Hari pertama apa?" tanya Rosé tidak paham.

"Hari pertama kita jadian," jawab Chandra sambil menyengir. Berbicara dengan gamblangnya seolah ia tidak melakukan kesalahan. Seolah mengajak seseorang berpacaran itu seperti ajakan makan.

"Huh?!"

"Inget nggak. Gue pernah bilang kalau kita ketemu dengan nggak sengaja sebanyak tiga kali berarti kita pacaran. Dan ini pertemuan ketiga kita. So? You're my girlfriend right now."

Gadis itu melirik tajam. Terlihat tidak terima. Mana ada orang yang mau berpacaran dengan orang asing walaupun siapa yang tidak mengenal Chandra si atlet panahan. Tapi tetap saja. Rosé tak mengenal Chandra.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now