#8 - Rubber Duckie

446 99 2
                                    

Lahir di keluarga yang menjunjung tinggi sikap saling tolong-menolong membuat Rosé juga melakukan hal yang sama. Walau hal yang ia lakukan jauh lebih sederhana daripada apa yang dilakukan orang tuanya namun Rosé tetap menjalani itu dengan suka cita. Berbekal buku dongeng. Rosé rutin menghibur pasien anak-anak dengan cerita dongeng yang ia bacakan. Sesekali melakukan kegiatan amal yang lain. Kegiatan apa saja asal tenaganya bisa membantu. Asal bantuan yang ia berikan dapat berguna.

"Hanin nggak ikut?" Ayah yang masih memakai jas putih panjangnya menyapa sang anak yang tak sengaja ia temui di koridor rumah sakit.

"Ada kerja kelompok katanya, Yah."

"Joy?"

"Kak Joy udah kelas tiga. Bunda nyuruh Kak Joy fokus belajar."

Ayah mengangguk paham.

"Kenapa masih pakai seragam?"

Rosé menurunkan pandangan lantas tersenyum kaku karena masih memakai rok abu-abu dan seragam putih yang dibalut sweater berwarna merah.

"Takut waktu jenguknya keburu habis. Rosé nggak mau gara-gara Rosé yang lelet mereka jadi nunggu kelamaan," jelas Rosé dengan wajah polosnya.

Dielusnya penuh afeksi pucuk kepala sang putri. Ayah bersyukur memiliki Rosé di dalam hidupnya. Rosé bagai malaikat kecil tanpa sayap yang berhati begitu lembut dan baik.

"Ya udah. Tapi jangan sampai lupa makan malam."

Kepala itu mengangguk patuh membuat ayah sekali lagi mengelus rambut putrinya dengan seutas senyum yang mengembang.

"Abis ini Rosé beli makan terus pergi ke tempat les. Bunda udah tahu kok."

Melihat wajah polos dengan mata berbinar indah. Siapa pun pasti akan tersenyum gemas. Ayah suka melihat Rosé yang penurut seperti ini. Membuat ayah dan bunda masih menganggap jika si tengah masihlah anak-anak. Tanpa ada yang menyangka jika sebentar lagi anak tersebut menginjak usia dewasanya. Lagipula dengan tingkah polosnya. Siapa yang menyangka jika Rosé merupakan anak SMA yang baru saja berada di tahun keduanya.

***

"Ini adalah kisah si angin barat dan matahari."

Sebagian anak-anak duduk dengan tenang. Terlihat menyimak cerita Rosé dengan seksama. Mata-mata penuh harapan, mata yang memancarkan binar-binar kehidupan, mata yang masih memiliki semangat juang. Rosé selalu bersyukur melihat mereka tak menyerah akan jerat tali kehidupan. Anak-anak yang tetap kuat walau sakit datang menerpa. Walau kapan saja ajal tiba-tiba menjemput. Anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka memiliki semangat hidup yang tinggi jadi apa salahnya jika Rosé membagi sedikit kehangatan pada mereka. Memberi setidaknya semangat baru. Senyum tulus, tawa bahagia dan binar mata yang memancarkan semangat. Rosé selalu meyakini jika setiap cobaan yang diberikan oleh sang pencipta adalah bukti kasih. Sebuah pertanda untuk selalu mensyukuri hidup.

Di luar hujan turun cukup deras. Langit yang semula cerah dan berawan kini telah tergulung oleh sang kelabu. Datang menguasai langit kemudian menghujani bumi dengan airnya.

"Kayaknya kalian harus kembali ke kamar masing-masing. Udaranya semakin dingin," ucap Rosé. Tapi anak-anak tersebut menolak. Beberapa perawat yang ikut mengawasi sampai kewalahan karena para anak merengek ingin Rosé tetap di sana bersama mereka.

"Gimana kalau pertunjukkan boneka tangan?"

Seseorang tiba-tiba datang dan menimbrung.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now