#11 - Jatuh Cinta

397 90 4
                                    

Siang itu langit cerah sekali. Matahari bersinar terik. Layaknya peramal cuaca Chandra menebak jika sore hari pasti akan turun hujan. Ketika sedang bersiap untuk pulang, ponselnya berdering. Chandra melepas peralatan pengaman yang terpasang di bahu, lengan dan jari tangan sebelum akhirnya mengangkat sambungan telepon.

"Lagi nganu ya lo? Lama banget diangkatnya sih kampret?" suara Ibam terdengar setelahnya.

Chandra mendengus dengan raut malas, "Lagi latihanlah bego. Ngapain nelpon? Kangen gue ya lo?"

"Kangen pale lo! Bego berangkat ke sekolah cepet!"

"Lah ngapain? Gue udah dapet dispen kok," balas Chandra tidak mengerti.

"Materi presentasi kelompok kita kebawa di elo dodol! Buru ke sekolah. Sepuluh menit lagi Bu maung eh maksudnya Bu Citah masuk. Nggak mau 'kan nggak boleh ikut ujian semester?"

Sekali lagi Chandra mendengus kesal setelahnya mengumpat, "Sialan. Gimana caranya gue ke sekolah dalam waktu sepuluh menit?"

"Ya itu urusan lo. Pake karpet ajaibnya Aladdin kek atau pinjem pintu ke mana sajanya Doraemon. Pokoknya lo harus udah di kelas sebelum Bu Citah," sahut Ibam final.

Chandra menggeram kesal lantas buru-buru membereskan barang-barangnya.

"Ibam sialan!"

***

"Tumben banget heh di sini?" Januar yang sedang memakan mie instan plus telur setengah matang ekstra cabai rawit itu keheranan. Pasalnya ia jarang melihat Chandra nongkrong bersama mereka di warung belakang sekolah.

Chandra tak lekas menjawab. Hanya berbaring di dipan kayu dengan tas ransel yang ditaruh sembarang serta jangan lupakan tas besar berisi alat memanahnya yang terlihat menonjol di dekat kaki dipan.

"Lesu banget sih lo. Kenapa?" Januar masih setia bertanya walau Chandra juga tak kunjung menjawab.

"Tanya aja tuh sama Ibrahim Bambang Narajendra," jawab Chandra.

"Ya maaf Ndra. Lagian mana gue tahu kalo Bu Citah Citata KW lagi di luar kota," ucap Ibam.

"Panah aja dah si Bambang biar tahu rasa kalau perlu minjem pistol Bapak Bagaskara buat nembak palanya biar beneran dikit," kompor Malik.

"Diem ya lo anaknya bapak Hendrawan Sinaga jangan kompor," balas Ibam.

"Lho kok lo bawa-bawa nama bokap gue? Ah elah siapa sih nama bokap lo Bam? Bambang?"

"Nggak tahu. Syukurin nggak bisa bales ngeledek," sahut Ibam merasa telah menang.

Chandra yang kepalanya sudah berdenyut pusing makin merasa pusing. Padahal ia yang hendak marah pada Ibam tapi justru Malik yang ribut dengan anak songong satu itu.

"Nama bokapnya Ibam tuh Zulfikar. Nah kalau yang ini baru Bambang nama bokapnya," timbrung Chandra pun kini telah merubah posisinya menjadi duduk bahkan sampai menunjuk Januar yang sedari tadi khitmad menyantap mie.

"Kok gue juga kena sih?" protes Januar.

Malik menatap Chandra kemudian tersenyum puas, "Haha. Akhirnya gue tahu siapa bokap lo."

"Bagaskara sialan!" tukas Ibam kesal

"Heh itu bokap gue dodol. Nggak takut apa lo ditembak kepalanya sama bokap gue," ucap Chandra seketika membuat nyali Ibam jadi ciut.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDOù les histoires vivent. Découvrez maintenant