#Part 18

4 0 0
                                    


Sasampainya aku di kelas mereka masih terlihat khwatir tapi aku tak menghiraukannya. Bahkan duduk disebelah Randy pun aku tak mengatakan apapun. "Ash sial lupa gue kalo gue duduk sebangku sama Randy", gumamku dalam hati. Tak banyak berbicara seperti biasanya aku hanya terdiam seribu bahasa karena malas sekali kalo aku harus marah-marah ga karuan yang ada nanti kelas ini hancur karena amukan ku.

"Sya? Lo ga papa ? lo masih ngambek apa? Cuma gara-gara hal sepele sampe segitunya Sya. Maafin kitalah Sya." bisik Randy saat pembelajaran sedang dimulai.

"Sya jawab gue dong ?!" tanyanya risih karena tak kunjung ku jawab.

"Sya?! "

"Bisik lo Rend!!" jawabku risih sedikit keras.

"PLAK!!"(Penghapus board melayang pada meja kami)

"Heh kalian dari tadi saya perhatikan ngobrol terus! Kalian kalo ga mau belajar sama saya keluar sana!" teriak marah guru yang sedang mengajar kami.

"M.ma.maaf bu, tadi kita lagi diskusi soal kerja kelompok." Jawab Randy membual.

"Sekarang pelajaran Kimia dan kalian harus memperhatikan saya bicara, bukan saatnya diskusi kelompok. Kalo saya suruh baru!"

"Iya bu maaf." Tambah Randy.

Setelah seorang guru memarahi aku masih tidak mengatakan apapun pada Randy. Dan suatu hal yang tak terduga terjadi ketika tiba-tiba pak Burhan datang ke kelas dan memanggil nama kami. Ohh iya sampe kelupaan, masalah tawuran waktu itu kan belum selesai. Aku tak sadar padahal bunda masih berada di ruang BK. Semua perhatian siswa langsung terfokus pada kami yang dipanggil kedepan.

"Randy,Erick,Beni,Adam dan satu lagi Rasya! Kedepan kalian."

"Hhhmmm..ada apa lagi sih, hari ini ada aja masalah." Gumamku dalam hati.

"Lihat lah berandalan ini. Mereka berani sekali masih menampakan wajahnya yang tengil di sekolah ini, setelah apa yang telah mereka lakukan dengan sekolah tetangga." Hina pak Burhan.

"Ko mereka di panggil kedepan? Serem banget siapa dia?" bisik Devina pada teman sebangkunya Tasya.

"Dia itu pak Burhan, guru matematika sekaligus guru BK paling serem galaknya. Mereka dipanggil sama pak Burhan udah biasa langganan, pasti karena masalah tawuran beberapa hari lalu." Jelasnya.

"Kalo sampe ada siswa seperti mereka ini lagi saya gak akan tinggal diam. Orang tua kalian menunggu di kantor kepala sekolah sana!"

"Huuuuuuuuuuh.." sorak sekelas kompak.

Ga bisa berpikir jernih saat itu karena khawatir dengan keputusan apa yang kepala sekolah ambil untuk kami didepan para orang tua. Dan satu hal yang membuatku lebih khawatir apakah aku ini masih dianggap anak oleh bunda? Dan kami pun berjalan menuju ruang kepala sekolah, dan aku masih tak mau bicara pada mereka. Aku sengaja berjalan lebih cepat agar bisa berada didepan mereka.

"Sya. Tunggu." Sahut Erick sambil mengejar.

"Kalo lo masih ngambek gue minta maaf. Ya mewakili mereka juga." Tambahnya.

"Sya pliss. Maafin kita.." sambil menarik tangan ku.

"Lepasin Rick! Lo ga denger ya pak Burhan minta kita buat ke ruang kepala sekolah." Jawabku risih sambil pergi.

"Hhmm..gagal ya Rick. Keras banget sih hati si Rasya kayanya terbuat dari batu." Risih Beni menghampiri.

Melihat reaksi Erick yang begitu berharap maaf dariku, sebenarnya aku merasa tidak nyaman dan kasihan. Tapi semua inikan juga gara-gara dia yang lebih memperdulikan murid baru itu dibandingkan sahabatnya sendiri. Hatiku kini bercampur aduk antara cemas, sedih, dan kasihan. Padahal dalam hati sejujurnya masih pengen tanganku dipegang dia, tapi emosiku berkata lain. Dan sesampainya di ruang kepala sekolah, terlihat bunda dan orang tau sahabatku duduk dengan wajah merah berasap.

"Wahh perang dunia ke III nih sama bunda." Gumamku takut dalam hati. Dan alhasil akhirnya kepala sekolah hanya memberi kami teguran. Terlihat merah bergejolak wajah bunda dan sudah ku bayangkan jika nanti keluar ruangan itu akan meledak. Terdengar berbagai emosi, cacian, bentakan, tamparan, bahkan yang lebih menyeramkan kutukan dari para orang tua setelah kami semua keluar ruangan.

"Hhhmmm..bunda sudah capek bagaimana lagi caranya menghadapi kamu Rasya! Kamu gak kasihan apa sama bunda yang bekerja keras tiap hari demi nyekolahin kamu supaya jadi anak yang sukses dan banggain keluarga. Sekali aja ga bikin bunda malu." Setelah panjang lebar bunda menceramahiku.

"Bunda malu ya punya anak kaya Rasya? Seharusnya bunda malu, apa penyebab Rasya bisa seperti ini. Iyalah secara Rasya ini hanya sebuah pion di rumah yang gak berarti apa-apa. Dan satu hal lagi. Lain kali ga usah lagi bunda peduli dengan kesuksesan masa depan Rasya, toh hanya Rasya yang bisa menentukan itu." Jawabku sambil pergi.

Sejak saat itu aku tak ingin melihat wajahnya lagi saat dia emosi, sungguh sangat menyeramkan. Aku langsung pergi menuju kamar mandi dan kurasa disana takan ada orang yang bisa melihatku menjatuhkan air mata. Sungguh sesak dada ini ketika mengatakan hal itu pada bunda, dan lebih pedih lagi saat bunda mendengar hal itu air matanya jatuh begitu saja. Rasanya sudah tak tahan lagi berada disana sehingga membuatku pergi dan mungkin menyisakan luka dihatinya. Saat itu aku tak memperdulikan lagi masalah dengan sahabat-sahabatku itu. Dan sekuat apapun aku berkelahi hatiku tetaplah bukan terbuat dari baja, dan aku juga seorang perempuan yang memiliki hati yang rapuh.

Sejak saat itu aku hanya dapat menutup erat mulutku agar tak mengeluarkan teriakan hatiku yang nantinya akan menghebohkan satu sekolah. Dan hanya air mata yang keluar sangat deras yang mewakili tangisan luka ku. Ntah kenapa lagi hatiku bertambah perih ketika bayangan sosok ayah melintas di pikiranku. Dalam hatiku aku selalu menyalahkannya dalam hal apapun tentangku. Kedua orang tuaku yang telah membuatku seperti ini, tapi aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya. Karena aku sadar tanpa mereka aku tak akan ada di dunia ini. Maka munculah pertanyaan besar dalam hatiku "Tuhan mengapa aku dilahirkan jika hanya membuat susah orang lain?"

***

SolidaritasWhere stories live. Discover now